Suamiku seneng banget makan bubur ayam, paling cocok dengan rasa bubur Cianjur dan bubur Tambun Bekasi. Bubur Cianjur ada kuah kuning gurih, sedangkan bubur Tambun Bekasi nggak pake kuah kuning. Hampir setap hari suamiku sarapan bubur ayam, sampe tukang buburnya hapal "Nggak pake emping, nggak pedes, kecap asin sedikit yaaa bu..." Hehehee...
Ada dua bubur ayam Cianjur yang jadi pavoritnya -- yang satu jualannya di deket rumah kami, sedangkan yang satu mangkal dengan gerobak di depan RS langganan suamiku. Tukang bubur deket rumah selalu berjualan lengkap dengan pasukannya -- terdiri dari seorang supervisor bernama "aak Pendi" dan 3 anak buahnya. Kereeen khan... Sedangkan tukang bubur yang mangkal di depan RS cuma sendirian -- namanya "mas Narto". Belum ada pasukan yang membersamai, tapi kadang kala ditemani istrinya. Tapi paling sering mas Narto bersolo karier -- sendiri saja melayani para langganan.
Setiap hari mas Narto masak bubur sekitar jam 01.00 dini hari. Sedangkan pelengkap berupa ayam, kerupuk, cakwe, kacang dele, bawang goreng dan sate-satean, sudah disiapkan istri tercinta di siang harinya. Jam 7-an mas Narto sudah standby di depan RS, siap melayani seluruh pelanggan. Biasanya jam 9-an mas Narto sudah pulang, ludes semua buburnya. Panci buburnya besar sekali, berkapasitas kira-kira 150 porsi. Buburnya enak dan gurih, harga bubur Rp13.000/porsi dan sate-satean Rp2.000/tusuk -- ada sate telor puyuh, usus ayam, rempelo ayam dan hati ayam.
Mas Narto seneng banget kasih bonus sate, bukan hanya bonus 1 tusuk sate, kadang kala setiap porsi diberi tambahan 2 tusuk sate. Jadi untuk pelanggan yang beli 1 porsi bubur + 1 tusuk sate dengan total harga Rp15.000, bisa menikmati bubur ayam plus 3 tusuk sate yang seharusnya dibayar dengan harga Rp19.000. Bonusnya hampir 30%! Mantaaab thoo...
Aku pernah beli 5 porsi bubur ayam dan 5 sate telor puyuh, dapat bonus 10 sate usus ayam. Aku bersikeras menolak bonus yang diberikan mas Narto, karena menurut aku too much -- kasihan sama mas Narto. "Nggak usah ditambahin mas, satenya cukup satu aja per porsi."
"Nggak apa-apa, bu berbagi rezeki. Aku cuma bisa berbagi sate doang, nggak bisa berbagi yang lain". Dengan santainya mas Narto masukin 10 tusuk sate bonus ke dalam plastik. Tak ada keraguan sedikitpun, sama sekali nggak mikirin rugi. Niatnya mulia banget, ingin berbagi rezeki denganku. Masyaa Allah...
"Sebagaimana Tuhanmu telah mencukupkan rezekimu di hari kemaren, maka jangan khawatirkan rezekimu untuk esok hari (Imam Syafi'i)."
Mas Narto sering nggak jualan kalau kumat sakit saraf kejepit-nya. Sakitnya bukan kepalang, sampai nggak bisa jalan. Ke kamar mandi saja harus merangkak-rangkak. Sudah pasti nggak akan sanggup mendorong gerobak buburnya yang sarat muatan. Kalau sakitnya kumat dan semua perlengkapan jualan bubur sudah terlanjur dimasak, maka istri mas Narto yang akan jualan. Ditemani tetangga atau saudara, mereka membantu istri mas Narto mendorong gerobak dan melayani pelanggan.
Mas Narto nggak pernah mau berobat ke dokter atau ke Puskesmas. Aku pernah tanya, dan jawabannya begini, "Kalau saya berobat ke dokter, pasti diperiksa penyakit lain-lainnya. Saya nggak mau jadi tau semua penyakit saya, bu. Nanti tambah kepikiran."
Pernah suatu ketika mas Narto mendengar khabar, ada terapis alternatif yang menyembuhkan saraf kejepit di kota Pemalang. Banyak orang yang cocok dan sembuh, nggak kumat lagi sakit saraf kejepitnya. Akhirnya mas Narto langsung berangkat menuju Pemalang, dengan mengendarai motornya. Tak lupa mengajak serta istri dan 3 orang anaknya dalam perjalanan itu. Kalau capek, mereka beristirahat dan tidur di emperan toko. Kalau mandi, mereka mampir di pom bensin.
Akhirnya perjalanan Depok -- Pemalang berhasil mereka tempuh, mas Narto melakukan pengobatan di sana selama 2 bulan. Mereka mengontrak kamar di sebuah rumah -- di sekitar balai pengobatan. Alhamdulillah pengobatan berhasil, namun apa daya kumat kembali sakit saraf kejepitnya. Karena mas Narto setiap hari masih harus mengangkat the giant panci bubur dan mendorong gerobaknya. Yaa Allah...