Menyimak penuturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, atau sering dipanggil 'Mas Menteri' tentang kurikulum merdeka - mengenai pengurangan 30-40 persen materi pembelajaran dan menempatkan 20 persen untuk pengalokasian pembelajaran berbasis proyek yang bertujuan untuk pembelajaran yang lebih mendalam - seketika membuat saya bernostalgia.
Dulu sekali pernah ada acara kuis di televisi berjudul "Galileo". Program yang tayang antara tahun 1999-2003 di salah satu televisi swasta itu berisikan percobaan-percobaan mengenai pelajaran fisika dan kimia.
Kuisnya berupa pertanyaan "Apa yang terjadi ketika percobaan ini dilakukan?" yang nantinya disertai penjelasan ilmiah yang mendasari praktik percobaan tersebut. Begitu menariknya sampai saya yang masih sekolah menengah saat itu tidak pernah melewatkan setiap episodenya - Hm, tebak usia saya berapa?
Sayangnya, keburu jatuh cinta pada fisika dan kimia, saya malah merasa bertepuk sebelah tangan jika menghadapi mata pelajaran ini di sekolah. Entah kenapa saya tidak merasakan sensasi dan motivasi yang sama dibanding saat menonton acara kesukaan saya itu. Saya berharap akan ada banyak percobaan dilakukan di sekolah.
Buat saya, kegiatan praktik membuat fisika mudah dimengerti ketimbang hanya membaca, apalagi ketika dewasa kita menyadari bahwa ilmu fisika dan kimia ada dalam kehidupan sehari-hari.
Nyatanya saat itu di kelas hanya ada teori. Teori lagi. Sesekali praktik. Kembali teori, begitu terus hingga akhirnya ujian akhir berlangsung.
Jangan salah, nilai saya bagus, kok. Tapi pakai SKS - Sistem Kebut Semalam; hafal teori, hafal rumus, hafal semua definisi dan segala hukum serta asas - hanya untuk sehari - pas ujian. Sekarang? Dua puluh tahun berlalu. Ya sudahlah, kalau kata kak Bondan Prakoso. Tidak usah dibahas.
Nyatanya memang banyak sekali fenomena 'murid hafal tapi tidak paham' seperti saya. Mampu menghafal perkalian satu hingga seratus luar kepala. Tapi begitu dibolak-balik pakai komutatif atau asosiatif langsung hah-heh-hoh, apalagi kalau sudah dikombinasi pembagian, ditambah lagi pecahan berbeda penyebut, lalu berkembang ke rumus persentase, rumusnya sih hafal, tapi begitu diberi soal pembelian dan penjualan langsung tekor hasilnya.
"Waduh, nak, bisa bangkrut warung kita kalau kamu ngitungnya belepotan?" Batin orangtuanya.
Itu saya. Zaman dahulu. Dengan gaya belajar yang ditentukan sekolah: lebih banyak di dalam kelas daripada di luar kelas. Lebih banyak teori daripada praktik.