Dunia Kesehatan Indonesia kini digegerkan oleh penolakan Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law yang penyusunannya tidak melibatkan para organisasi profesi kesehatan. Padahal organisasi profesi merupakan representasi disetiap bidang keahlian dan lebih paham mengenai masalah Kesehatan di Indonesia. Para tenaga kerja kesehatan yang menolak RUU ini, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) di beberapa daerah dan rumah sakit.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan karena isi RUU Kesehatan Omnibus Law yang dinilai meresahkan dan kontoversial. RUU tersebut juga mempunyai potensi untuk melemahkan pelindungan bagi para tenaga kesehatan, perawat, bahkan masyarakat. Ada beberapa poin konroversial di dalam RUU ini diantaranya:
Pembentukan RUU Kesehatan Omnibus Law yang tidak transparan, terkesan tersembunyi, terburu-buru dan tertutup.
Pasal 235 draf RUU Omnibus Law Kesehatan, disebutkan bahwa tenaga kesehatan tidak lagi memerlukan rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP). Tenaga kesehatan hanya memerlukan bukti pemenuhan kompetensi dan kecukupan satuan kredit profesi yang akan dikelola oleh Menteri. Seharusnya untuk mendapatkan SIP diperlukan rekomendasi dari organisasi profesi karena terdapat tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya.
Selain itu, praktik pelayanan kesehatan harus mempertimbangkan tidak hanya kompetensi, tetapi juga aspek etika dan moral. Secara umum aspek yang dinilai oleh organisasi profesi sebelum mengeluarkan surat rekomendasi adalah disiplin, etika, kompetensi, dan hukum kedokteran. Mencabut surat rekomendasi dari persyaratan penyusunan SIP dan tidak mencantumkan masalah etik, disiplin, dan hukum kedokteran berpotensi melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan yang beretika dan bermoral baik.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga mengumumkan menolak usulan RUU Kesehatan mengenai tembakau. Meski sama-sama mengandung zat adiktif, namun ada perbedaan penting antara tembakau dan narkoba, yaitu dari segi adiksi. Jika benar pasal undang-undang kesehatan menyamakan tembakau dengan narkoba, maka akan sangat merugikan produsen tembakau.
Dilakukan marginalisasi organisasi profesi kesehatan yang tujuannya hanya ada satu organisasi profesi disetiap bidang profesi yang tercantum pada Pasal 296 ayat 1. Lalu Pasal 184 ayat 1 tenaga kesehatan dikelompokkan menjadi 12 jenis, namun dari beberapa jenis dibagi menjadi beberapa kelompok lagi. Kontroversi lain terkait dengan rujukan untuk menggabungkan semua profesi, yang dianggap ambigu, karena dokter dan dokter gigi adalah dua profesi yang berbeda.
Terkait hal tersebut para tenaga kerja melakukan unjuk rasa dan aksi mogok kerja, serta meminta maaf kepada masyarakat jika pada saat mereka melakukan mogok kerja belum bisa memberika pelayanan yang maksimal, namun tetap memprioritaskan pasien yang memiliki urgensi tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H