Entah berapa lilin dinyalakan, lagi dan lagi. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu masih saja mencari lilin lilin kecil untuk menerangi rumah besarnya, kemana pun melangkah, dibawanya lilin lilin kecil bersamanya.
Andai ada yang tahu pasti akan bertanya -tanya, mengapa itu dilakukannya siang dan malam, tak peduli banyak jendela dan pintu yang bisa dibukanya, tak peduli banyak saklar lampu yang bisa dinyalakannya.
Setiap malam, sebelum tidur, dibukanya lembar demi lembar buku harian lusuh yang dibacanya dengan berlinangan air mata. Kemudian menggelar permadani, tersungkur sujud dalam isak, mendoakan keampunan wanita yang begitu tulus mencintainya, namun selalu dihujatnya dengan berbagai prasangka. Wanita dalam buku harian yang menamakan dirinya I am just a little candle,
aku hanyalah lilin kecil, duhai matahari, maka mengapa aku menginginkan menjadi langitmu? Bukankah itu tak mungkin?aku cukup tahu diri, maka aku pergi.
Aku hanya lilin kecil, duhai matahari, bukan siapa siapa dan tak berarti apa apa bagimu, mengapa engkau terganggu? Setemaram cahaya ini mengapa membuatmu tersaingi?
Aku memuja terangmu, mencinta pancarmu, dengan itu aku bisa mengenal keagungan Penciptamu. Aku hanya lilin kecil, maaf bila hadirku mengganggumu, juga pergiku mengusikmu.
Aku hanya lilin kecil, tak mungkin menjadi langitmu. Aku bukan rembulan, yang menjadi ratu malam, bukan bintang yang menjadi dayang dayang di istana dewi malam.
aku hanya lilin kecil yang segera berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H