Lihat ke Halaman Asli

Tafsir Bebas tentang Garuda Merah (Garuda Merah Bukan Kita)

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak tahun 1945, Garuda Pancasila sudah menjadi dasar hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Soekarno menyebutnya dengan istilah Philosofische Grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang dalam, jiwa dan hasrat yang kekal abadi. Pancasila juga disebut dengan weltanschauung bangsa dan negara Indonesia. Garuda Pancasila mengandung isi, cita-cita, harapan, dan tujan bersatunya negara Indonesia. Pancasila menjadi identitas, roh, dan semangat kebangsaan kita yang diakui telah mengalami proses panjang sejarah. Garuda Pancasila telah diperkaya oleh berbagai pengalaman-pengalaman keterpesonaan tentang nilai-nilai terpendam yang digali dari kultur sosial hidup berbangsa dan bernegara dan dalam proses persinggungannya dengan berbagai macam ideologi asing.

Garuda Pancasila sebagai sebuah spirit ideologi bangsa juga tak luput dari sisi gelap sejarah bangsa. Mulai dari zaman perjuangan pergerakan kemerdekaan, benturan dengan paham komunis yang mencoba mengerogoti bangsa yang isunya masih santer sampai saat ini, bahkan kabinet pemerintahan orde baru diklaim salah mengimplementasikan Pancasila dengan alasan mengkeramatkan Pancasila, menjadi simbol eksklusif penguasa, dan melegalkan praktek represif/kekerasan yang mengatasnamakan Pancasila. Dan akhir-akhir ini, Pancasila kembali heboh karena lambing negara Garuda Pancasila dimodifikasi oleh salah satu pasangan capres tanpa mengubah format dasarnya yang kemudian mereka namai “Garuda Merah”.

Kita harus dengan tegas mengatakan bahwa, Garuda Merah, bukan kita! Tapi di sini saya mencoba sedikit berpikir “liar” dan menafsirkan secara bebas yang akhirnya membuat saya secara pribadi menolak “Garuda Merah”. Pertama warna merah, secara umum diasosiakan sebagai simbol keberanian, tetapi Garuda Pancasila yang secara yuridis tertuang dalam UUD 1945 alinea ke-4 melemparkan saya pada sebuah gaya tafsir yang mungkin berlebihan yaitu bahwa merah juga bisa diidentikkan dengan darah atau saya menyebutnya dengan Garuda “berdarah”. Kedua, bicara soal Garuda berdarah, realitas historis bangsa ini telah membeberkan banyak fakta konflik suku, agama, ras, dan golongan yang sering berakir dengan darah yang tertumpah. Euforia akan hebatnya pengaruh “Bhineka Tunggal Ika” menjadi layu, kering, dan mati karena darah kekerasan yang tertumpah sia-sia. Fakta ini kemudian membuat saya perlu untuk bertanya, apakah semangat kemartiran menjadi trend aktual untuk mempertahankan roh Pancasila? Ketiga, secara kultural, kelima sila yang terkandung dalam Pancasila merupakan wakil dari karakter hidup berbangsa dan bernegara. Karakter dalam logo Pancasila merah kembali ditutup dengan warna merah. Secara bebas saya mencoba menafsirkan bahwa menutup kelima sila dengan warna merah mengindikasikan adanya tindakan “pembunuhan karakter” bangsa dengan cara represif/otoriter. Pertanyaannya, karakter bangsa seperti apa yang mau dibunuh? Runtutan kelima sila mulai dari keragaman religiositas di Indoensia yang terarah pada satu tujuan Ilahi (sila ke-1), praktik hidup yang menjunjung tinggi sikap tenggang rasa dan solider (sila ke-2), semangat kekeluargaan dan gotong-royong (sila ke-3), praktek urun rembug sebagai model problem solving (sila ke-4), dan semangat untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran (sila ke-5) terancam mengalami degradasi nilai dengan menghalalkan segala cara. Inila sebuah kegelisahan dan ketakutan akan matinya karakter bangsa.

Garuda merah, seolah mengorek kembali luka masa lalu, menghadirkan ketakutan, ancaman, bahkan redupnya roh integritas hidup berbangsa dan bernegara. Itulah alasan mengapa saya menolak logo ini dengan segala geliat politik yang ada di dalamnya. Ideologi kita harus tetap Garuda Pancasila, dengan logo kelima sila dan pita yang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika” tidak bisa dipolitisir, tidak bisa dipermainkan dengan alasan apapun atau demi kepentingan apapun. Garuda Pancasila, harga mati! Lalu apa yang menjad persoalan yang menjadi penyebab Garuda pancasila mudah dipolitisir? Persoalannya ada pada implementasi karakter-karakter yang terkandung di dalam kelima sila. Implementasinnya harus sejalan dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara, bukan sebaliknya, berperilaku “terbalik” dari karakter yang diharapkan, bahkan perilaku anti Pancasila.

Pertanyan terakhir, siapakah yag harus bertanggung jawab untuk menjaga roh Pancasila? Jawabannya adalah kita semua, mulai dari kalangan elite, eksekutif, yudikatif, legislatif sampai pada kelompok grasroot. Pancasila hendaknya dipakai sebagai pisau bedah untuk membuka realitas cita-cita hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila juga bisa dipakai sebagai penyaring yang menyeleksi nilai-nilai dari luar dan memberi catatan kritis untuk hidup berbudaya dan berbangsa di Indonesia. Kita semua punya tanggug jawab untuk menghidupkan kembali roh itu dengan membangun karakter hidup berbangsa yang beradab antara lain, Pertama, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi dimana rakyat menjadi pemimpin dan partai menjadi saluran aspirasi rakyat, hendaknya partai apapun, dengan idealisme poliik yang yang dianutnya, tidak menjadi sarang atau tidak menjadi tempat berlindungnya para koruptor. Kedua, elite politik (pejabat dan anggota DPR) tidak berlomba-loba menciptakan project yang ujung-ujungnya menjadi sumber utama pemenuh pundi-pundi upeti. Ketiga, pemeluk agama mana pun harus dijamin kebebasannya dalam beribadat, mendirikan tempat ibadah yang nyaman, dan bersih dari segala tindakan represif golongan manapun yang mengatasnamakan agama mayoritas. Keempat, membangun iklim demokrasi yang sehat dan berwibawa. Dan kelima, negara bekerja keras untuk menjamin penghidupan dan penghasilan yang layak bagi setiap warga negara, menghantar setiap warganya menjadi warga yang terdidik dan tercerahkan, dan mampu memfasilitasi kesehatan yang layak dan murah bagia setiap penduduk. Akhir kata, Garuda itu hanya satu di Indonesia yaitu Garuda Pancasila, bukan Garuda Merah. Garuda Merah merepresentasikan ketakutan, kecemasan, kegalauan, bahkan ancaman kekerasan. Sedangkan, Garuda Pancasila mengandung Logos (rasionalitas), Pathos (penghayatan), dan Ethos (kesusilaan). Garuda Pancasila adalah karakter kita!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline