Lihat ke Halaman Asli

Bersama Itang

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Akhirnya malam ini hujan tidak turun menyapa malam yang selalu ku nanti.

Lalu sebuah rencana seperti malam-malam itu akan segara ku lakukan lagi. Setelah rutinitas bermusik ini selesai, setelah kantong ini lumayan penuh dan memenuhi target, akan segera ku lakukan.

"Sepertinya sudah cukup ini... hemmm lumayan malam ini lebih seribu lima ratus, Itang aku datang..!!" kataku dengan semangat.

Lalu dengan segera mengambil kantong plastik yang sempat ku titipkan pada bu Ratih, sang pemilik kios kecil di ujung jalan Sudirman. Isinya bukan apa-apa, hanya sebuah tumpukan kertas yang masih bisa ku jadikan buku karena masih terdapat sisi yang kosong dan juga sebuah pensil merah yang pernah ku temukan di dekat tong sampah.

***

Akhirnya sampai juga. Langkah kaki ini semakin semarak seperti gejolak rinduku pada Itang. Sudah tiga hari ini, aku tak menemuinya karena hujan.

"Hah.... selamat malam Itang...!!" Sapaku semangat sambil mengambil posisi nyaman dimana aku bisa lebih jelas memandangnya.

"Maaf tiga hari ini aku tak mengunjungimu dan kau tahu itu karena hujan. Toh kalau pun aku datang, kau tetap tak bisa ku jumpai. Tapi tenang Itang, aku sudah menuliskan cerita apa saja yang terlewatkan selama 3 hari ini." Lanjutku sambil memberikan senyuman seolah merayu, lalu mulai membacakannya.

"Itang, hari pertama itu karena hujan lebat seharian, aku tak bisa dapat banyak dan sialnya lagi-lagi pria dewasa itu datang dan sempat merogoh-rogoh lagi tang. Aku takut kalau aku teriak, kau ingatkan kejadian sebulan yang lalu? karena mencoba berteriak kemudian ia menyisakan goresan pada betisku. Hemmm... Oh ya Itang dihari kedua, ada ibu-ibu datang nyamperin terus kasih aku sebungkus nasi. Kali ini bukan rombongan seperti biasa. Ibu itu datang, terus bicara sebentar, lalu pergi begitu saja. Tapi aku suka sekali dengan senyumnya, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang beda. Dan setelah ibu itu pergi, sempat terlintas apakah ibuku itu seperti itu?. Tapi aku rasa tidak, karena tidak mungkin ia meninggalkan aku begitu saja. Ingatkan bagaimana ibunya Rani, Iwan, apalagi ibunya Sarah."

Entah kenapa sampai pada cerita ini, dadaku sesak sekali. Tapi aku harus segera menyelesaikan ceritaku ini, " Itang, hehehehe... aku ingin menangis, tapi tenang saja akan ku ceritakan sampai selesai. Kemarin, aku bertemu Eko, dia menggandeng Rani. Emmm... aku akhirnya tahu bagaimana rasanya cemburu tang...!! Tapi tak apa, hari ini aku bisa menyapamu itu sudah lebih dari cukup."

Menyapu air mata yang kemudian mengalir hebat di pipi sambil memasukkan kembali kertas itu kedalam plastik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline