Menyikapi Tren FLORENCEnisme di Media Sosial
Kemunculan Florence Sihombing begitu mencuri perhatian publik minggu ini, padahal ada banyak sekali Florence-Florence lainnya yang begitu bebas melenggang disekeliling kita ibarat sebuah tren. Kita sebut saja mereka sebagai kaum Florencenisme.
Miris memang, karna ternyata meningkatnya kecerdasan intelektual tidak menjamin perubahan etitut, sopan santun dan ketaatan seseorang terhadap nilai dan norma norma sosial yang ada untuk menjadi lebih baik.
Banyak sekali orang orang terdidik dengan gelar kesarjanaan nya, bahkan terkadang lengkap pula dengan gelar spiritualnya tidak terlihat baik dengan pencitraan mental dan moral yang buruk.
Parahnya lagi kemajuan era teknologi disalah gunakan sebagai media publising untuk mempertontonkan sikap-sikap minus mereka. Ada yang mungkin tidak sengaja dan tidak menyadarinya, tapi sayangnya setengah dari mereka dengan sengaja menjadikan itu sebagai alat untuk menuai perhatian dari publik.
Padahal kemarahan dan merasa benar yang tidak pada tempatnya adalah sebuah kesalahan yang tidak hanya akan menghasilkan cemooh dan hinaan tetapi juga berdampak pada hukum yang sifatnya pidana. Mungkin kita bisa mendefinisikannya sebagai sebuah penyimpangan perilaku dimana seseorang tidak dapat lagi mengontrol emosinya saat marah dan melampiaskannya pada benda atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dan kaum Florencenisme ini memilih media sosial sebagai sarana pelampiasan kemarahannya.
Penyimpangan tingkah laku seperti yang dialami kaum Florencenisme ini adalah akibat kurangnya kecerdasan secara emosional yang sebenarnya sangat diperlukan bahkan berperan sangat penting sebanyak 80% sebagai penentu keberhasilan seseorang untuk memperkuat diri, mengubah kondisi dan menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik serta bahagia.
Namun memang tidak semua orang memiliki kecerdasan secara emosi meskipun mereka memiliki kapasitas kecerdasan intelektual cukup tinggi, yang pada akhirnya akan memunculkan wajah wajah kaum Florencenisme baru. Mereka cenderung gelisah tanpa alasan,terlalu kritis, rewel, menarik diri, terkesan dingin,takut dan sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara langsung dan pada tempat yang tepat.
Biasanya itu merupakan dampak dari kesepian dan depresi masa kanak-kanak yang selalu merasa sendiri dan jarang mendapat pengakuan juga penghargaan secara psikologis dan emosional dalam keluarga. Sehingga mereka memilih melampiaskannya pada media sosial dengan tujuan menarik simpatisan. Tetapi apa yang terjadi, mereka justru menuai protes, cacian dan makian dari pembacanya. Oleh karena itu dibutuhkan sekali peran serta lingkungan dan orang-orang terdekat sebagai motivator bagi mereka. Menghadapi orang-orang Florencenisme ini diperlukan sekali empati yang mendalam, bagaimana kita berusaha untuk bisa memahami perasaan, keinginan dan fikirannya. Dalam arti lain kita harus bisa menempatkan posisi diri kita pada diri orang lain. Sehingga selanjutnya kita bisa memasuki fikirannya, memberikan pemahaman, dan merangsang kesadaran mereka akan pentingnya mengendalikan diri agar tidak melanggar batasan-batasan nilai juga norma kesantunan dan kepatutan dalam bersikap juga bertindak yang pada akhirnya sangat merugikan dirinya sendiri.
Dibutuhkan orang orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi untuk mencerdaskan mereka yang tampaknya kurang cerdas secara emosional. Mengukur tinggi rendahnya kecerdasan emosional seseorang dapat terlihat disaat kritis, dimana mereka merasa terancam atau berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Ciri nya adalah mereka selalu merasa benar, menyalahkan orang lain, dan cenderung berbicara yang menyakitkan pihak lain. Mereka adalah sipembuat masalah yang tanpa pernah menyadari bahwa dirinyalah sisumber masalah.
Para psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan yaitu intelektual, emosional, dan spiritual. Dengan kemampuan akademis yg mumpuni, berkomunikasi sosial secara apik, simpatik dan memotivasi namun tetap berkomitmen kuat kepada nilai-nilai spiritual sebagai panduan dalam hidupnya.
Kesalahan Florence Sihombing ini dianggap sebagai sebuah ketidakpatutan yang mungkin memang layak untuk dibesar besarkan hingga sampai keranah hukum untuk menghentikan munculnya florence-florence baru yang nyatanya merajalela disekeliling kita.
Tapi bukankah juga sebuah kewajaran yang manusiawi sekali jika tidak semua orang mampu mengendalikan diri dan emosinya, yang seharusnya dapat disikapi dengan sangat bijaksana. Mereka membutuhkan bimbingan, motivasi dan dukungan. Terkecuali cemooh dan makian publik tidak lagi dapat membuatnya merasa bersalah dan menjadi sebuah peringatan luar biasa yang membuatnya sadar untuk tidak lagi mengulangi kesalahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H