Lihat ke Halaman Asli

Nomsy Gusti Semesta

Mahasiswa di Universitas Airlangga

Bukan Pakaiannya, melainkan Pikirannya

Diperbarui: 11 Juni 2023   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Pada zaman kerajaan kuno, perempuan dituntut untuk tampil menarik agar dapat menghibur kaum yang berkuasa atas uang, jabatan, dan kekuatan, yaitu laki-laki. Sehingga untuk bertahan hidup, perempuan harus menggantungkan nasibnya ke orang yang memiliki kekuasaan lebih besar darinya.

Seiring berjalannya waktu, bukan hanya laki-laki yang suka melihat keindahan, tetapi juga perempuan. Mereka akhirnya berdandan untuk dirinya sendiri dan ingin memerdekakan dirinya tanpa harus menggantungkan nasib ke laki-laki. Hal ini tentu menjadi masalah bagi kaum laki-laki karena perempuan sudah tidak membutuhkan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan laki-laki masih membutuhkan perempuan untuk hiburan. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya perempuan yang menjadi bahan candaan menjurus ke pelecehan seksual. Pelaku merasa bahwa menggoda orang lain dapat dilakukan dengan bebas karena terasa menyenangkan dan tidak akan menyinggung perasaan karena tujuannya candaan belaka.

Pelecehan seksual sendiri berarti perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki sehingga mengganggu penerima pelecehan. Pelecehan seksual sebenarnya bukan soal seks, intinya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas, sekalipun pelaku mencoba meyakinkan korban dan dirinya sendiri bahwa ia melakukannya karena seks atau romantisme. Dengan kata lain, pelaku baru merasa "berarti" ketika ia bisa dan berhasil merendahkan orang lain secara seksual. Rasa "keberartian" ini tidak selalu dapat atau mau disadari. Rasa puas setelah melakukan pelecehan seksual adalah ekspresi dari "berarti" tersebut. Pelaku biasanya mempunyai posisi lebih kuat (bisa dari berbagai aspek) daripada korban. Inilah yang menyebabkan baik pelaku atau korban bisa laki -laki ataupun perempuan (Triwijati, 2007).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak 1 Januari hingga saat ini (29 Mei 2023), terdapat lebih dari 79% atau 8.722 korban dari 9.761  kasus pelecehan seksual adalah perempuan. 30.1% di antaranya terjadi pada umur 13---17 tahun dan 25---44 tahun. Pernyataan tersebut linear dengan kasus pelecehan seksual pada pelajar (37.9%) dan ibu rumah tangga (20.3%). 

Dalam data lebih lanjut, ditemukan 58.2% kasus pelecehan seksual dilakukan dalam rumah tangga, sebanyak 6.013 kasus dan pelaku paling banyak adalah pacar/teman 1.963 kasus, dan nomor dua terbanyak adalah suami/istri 1.674 kasus.

Faktanya, banyak orang yang menganggap bahwa setelah menikah, hak atas diri sendiri dan pentingnya consent menjadi hilang karena sudah 'diperbolehkan' untuk menyentuh dan melakukan hubungan seksual oleh agama dan sosial, padahal hak-hak asasi manusia itu harus tetap dihargai meski sudah terikat tali pernikahan. Banyak kelompok orang yang tidak tahu bahwa tindakan-tindakan yang mereka kira enteng dan lucu untuk mereka ternyata termasuk dalam pelecehan seksual.

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa lebih banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual:

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline