Di tengah hiruk-pikuk kondisi perpolitikan dalam negeri, publik dikejutkan dengan munculnya petisi penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah dirancangkan sejak tahun 2016 silam. Petisi ini dimotori oleh Maimon Herawati, Seorang Pegiat perempuan yang juga merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Maimon yang sebelumya juga pernah menggalang petisi penolakan iklan grup pop asal Korea, Blackpink karena dianggap dapat menyebarkan provokasi, menilai bahwa RUU PKS mendukung perzinahan dan tindakan LGBT yang oleh sebab itu harus ditolak.
Jika mengurai lebih detail dalam pesan yang dipaparkan dalam petisi tersebut, terdapat beberapa poin yang menarik untuk disoroti, diantaranya menuding bahwa RUU PKS ini melegalkan aborsi yang dilakukan secara suka rela, kemudian bahwa dengan diundangkannya RUU PKS ini nantinya akan membuka kran kebebasan hubungan seksual baik hetero maupun homo seksual asalkan atas dasar suka sama suka.
Narasi yang hendak disampaikan kepada publik lewat petisi tersebut cenderung hanya berapi-api seakan-akan Pemerintah dan Dewan telah bersekongkol dalam pembahasan aturan sedemikian rupa ini, padahal dalam memahami persoalan inti aturan ini kita harus melihat dengan kecermatan dan pembahasan secara komperhensif.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya merupakan sebuah instrumen hukum untuk menutup celah hukum dalam fenomena kejahatan seksual yang selama ini terjadi di Indonesia. Berbagai instrumen hukum terkait seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hingga KUHP tidak mampu untuk memihak kepada korban kekerasan secara seksual atau mendorong upaya pemulihan dan pencegahan korban.
Hal ini dapat dilihat dari tujuan adanya RUU PKS adalah sebagai upaya untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Titik utama ini ada pada penanganan korban, karena kalau melihat data kasus kekerasan seksual di Indonesia posisi korban selalu lemah hingga tidak berani untuk mengungkap kasus yang sedang terjadi.
Berbicara mengenai korban yang dalam posisi lemah, mungkin memori kolektif kita mengingatkan terhadap kasus Baiq Nuril, seorang mantan guru honorer yang mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan secara seksual dari atasanya yang merupakan seorang Kepala Sekolah.
Baiq Nuril sering kali menerima telepon dari sang Kepala Sekolah dengan bernada melecehkan, bahkan pada suatu titik tertentu Baiq Nuril beberapa kali diajak menginap di hotel.
Namun siapa sangka, berharap membawa kasus ini ke meja hijau untuk mendapatkan keadilan, Baiq Nuril justru diganjar dengan hukuman penjara di Kasasi Mahkamah Agung meski sempat dinyatakan tidak bersalah pada pengadilan tingkat pertama.
Mungkin Baiq ini salah satu contoh kecil korban kekerasan seksual yang tidak memperoleh keadilan karena absennya perangkat hukum yang mendukung. Bisa jadi di luar sana banyak sekali korban seperti Baiq yang tidak nampak ke permukaan.