Pupuk selama ini dikenal sebagai material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan. Singkat kata, pupuk adalah suplemen tambahan bagi tanaman untuk bertumbuh.
Tapi, ada pula "pupuk" yang justru berfungsi sebaliknya. Disiram untuk menebarkan kehancuran. Yang dihancurkan pun tidak main-main, keutuhan dan persatuan bangsa.
Benarkan demikian?
Mari kita sama-sama tengok kasus penahanan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso lewat operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir Maret lalu.
Yang bersangkutan diduga sudah menerima uang sebanyak enam kali dengan nilai mencapai Rp221 juta dan US$85.130 terkait jasa pengangkutan pupuk. Pihak terduga pemberi suap adalah Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (Humpuss) Asty Winasti.
Menurut keterangan KPK, penerimaan ini berawal dari perjanjian kerja sama penyewaan kapal Humpuss yang sebenarnya sudah dihentikan. Namun perusahaan tersebut berupaya agar kapal-kapal milik mereka digunakan kembali untuk kepentingan distribusi pupuk milik PT Pupuk Indonesia. Demi merealisasikan hal tersebut, Humpuss meminta bantuan Bowo Sidik yang notabene anggota DPR RI, dengan balas jasa US$2 per metrik ton.
Pada 28 Maret 2019 tim KPK bergerak ke kantor PT Inersia Tampak Engineer di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Di sana mereka menyita 400 ribu amplop berisi pecahan Rp20 ribu dan Rp50 ribu dengan jumlah total Rp8 miliar. KPK menengarai Bowo Sidik akan membagikan uang itu saat hari pencoblosan untuk serangan fajar, dimana ia adalah calon legislatif inkumben dari dapil Jawa Tengah II.
Menariknya, ketika menjalani pemeriksaan Bowo Sidik mengaku mendapatkan uang dari Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebanyak Rp 2 miliar dalam pecahan dolar Singapura. Dana tersebut merupakan jasa pengamanan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi Melalui Pasar Lelang Komoditas, yang akan berlaku akhir Juni 2017. Saat itu Bowo Sidik merupakan pimpinan Komisi VI DPR yang salah satunya bermitra dengan Kementerian Perdagangan dan Badan Usaha Milik Negara.
Dalam perkembangannya, Bowo Sidik menyeret koleganya, Nusron Wahid, ke pusaran kasus suap dengan menyebutkan politisi Partai Golkar itulah yang memerintahkan menyiapkan 400 ribu amplop berisi uang untuk dibagikan saat Pemilu 2019. Tidak hanya itu, kasus ini juga sempat menyeret nama Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono, yang disebut masih memiliki hubungan keluarga dengan BSP. Adalah Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono yang menuding bank BUMN tersebut sebagai penyedia uang pecahan Rp20 ribu dan Rp50 ribu yang akan dibagikan. Tentu saja yang bersangkutan sontak membantahnya.
Dari sini terlihat jelas upaya Bowo Sidik mempolitisasi kasus distribusi pupuk dari sekedar ranah korupsi, ke ranah politis. Bayangkan, jika dijumlah total uang yang ia terima, Rp221 juta dan US$85.130 (kurs US$1 = Rp14.000), hanya berkisar Rp1,5 miliar. Dari mana Rp6,5 miliar sisanya? Lantas mengapa ia hanya buka mulut soal asal muasal uang Rp 2 miliar dari sekian banyaknya uang yang ditemukan KPK? Dan mengapa pula ia baru buka mulut setelah Pemilu 2019 usai?
Entah apa pun itu agenda yang ia jalankan, kasus ini telah menimbulkan kegaduhan di saat publik membutuhkan situasi yang damai dan kondusif pascapelaksanaan Pemilu 2019.