Dilematis! Kata ini bisa jadi yang paling cocok untuk menggambarkan kondisi petani kita tiap kali memasuki masa panen raya. Di saat harga jual anjlok, mereka selalu diperhadapkan pada dua pilihan: menjual hasil panennya ke Badan Urusan Logistik (Bulog) sesuai anjuran pemerintah atau ke para tengkulak dengan iming-iming harga yang lebih tinggi.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) selama selama empat tahun terakhir, harga panen padi terendah pada setiap tahunnya selalu terjadi di bulan April, ketika sedang berlangsung panen raya. Jumlah gabah kering yang melimpah membuat harga padi jenis Gabah Kering Panen (GKP) bergerak turun.
Dilaporkan otoritas statistik tersebut, harga gabah kering panen pada periode Maret 2019 turun, dan menyebabkan harga beras di penggilingan mengalami penurunan harga. Imbasnya, nilai tukar petani (NTP) pun turun, lantaran kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang di konsumsi rumah tangga.
Harga rata-rata gabah kering petani Rp4.604 per kilogram, atau turun 9,87%. Di tingkat penggilingan, Rp4.706 atau turun 9,87% dibandingkan harga gabah kualitas yang sama. Turunnya harga gabah, berimbas pada penurunan harga beras. Rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan pada Maret 2019 sebesar Rp9.815 per kilogram atau turun 1,93% dari bulan sebelumnya.
Penurunan harga terjadi pada seluruh jenis kualitas beras mulai dari harga beras kualitas premium, medium, hingga kualitas rendah.
Seperti yang sudah-sudah, langkah antisipasi dilakukan lewat imbauan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk segera menyerap gabah petani demi menjaga kestabilan harga di pasar.
"Harga gabah turun, kami sudah komunikasi dengan Bulog segera bergerak cepat karena produksi melimpah," ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman, awal pekan ini.
Di atas kertas, masalah seharusnya sudah berhenti di titik ini. Tapi nyatanya tidak. Kenapa bisa begitu?
Idealnya, jika harga beras atau gabah di tingkat petani turun, Bulog harus membeli dari petani sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya, ketika harga beras naik, Bulog melakukan operasi pasar. Caranya, menjual stok yang dimiliki Bulog kepada masyarakat sesuai dengan harga acuan
Namun ketika ditelusuri lebih seksama, ternyata masih banyak petani yang menjual gabahnya ke para tengkulak, yang notebene adalah mafia beras. Logikanya, tentu saja mereka akan lebih memilih menjual berasnya ke Bulog, jika harga yang ditawarkan lebih tinggi. Sayang, yang terjadi di lapangan tentu justru sebaliknya.