"Reforma Agraria" kembali ramai jadi perbincangan publik pasca Debat Calon Presiden Kedua beberapa waktu lalu.
Yang paling diingat mungkin soal penekanan Presiden Jokowi terhadap penguasaan lahan Prabowo yang mencapai ratusan ribu hektar. Juga Jokowi sebagai petahana kembali menyinggung bahwa Reforma Agraria telah dijalankan dan akan terus dilanjutkan jika ia terpilih kembali. Di samping secuil janji redistribusi lahan yang telah dilunasi, sertifikasi tanah masih menjadi andalan utama yang ia banggakan.
Secara historis, Reforma Agraria selalu melibatkan "restrukturisasi" atau "penataan ulang" terhadap penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber kunci agraria seperti tanah dan air. Tidak heran jika sudah banyak kritik yang menekankan bahwa sertifikasi tanah bukanlah bagian dari program ini. Klaim agenda Reformasi Agraria tanpa redistribusi lahan ibarat pepesan kosong belaka.
Reformasi Agraria sejatinya telah dimulai sejak awal republik in berdiri. Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960. UU PA No.5/1960 diberlakukan untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda ("Agrarische Wet" dalam Staatsblad 1870 No. 55).
Hukum pokok agraria tersebut menunjang cita-cita nasional tentang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh Bab XIV Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33, khususnya ayat 3yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam serta sos-dem (PSI).
Klimaks dari semua kontradiksi politik itu ialah jatuhnya Soekarno pada tahun 1965, yang membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani.
Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001).
Namun penetrasi dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reformasi agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi 'perampokan' tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing.
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 18/2003 tentang Perkebunan, UU No. 7/2004 Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara serta yang terakhir UU Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini.
Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia.