Desember 2018 lalu Indonesia dikejutkan oleh pembunuhan 31 pekerja konstruksi mega proyek Trans Papua yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata, meskipun rinciannya masih belum jelas. Ketakutan bahwa kekerasan akan mengalami eskalasi pun menyeruak.
Ironisnya, peristiwa ini terjadi ketika pemerintah Indonesia membuat upaya luar biasa untuk mengembangkan wilayah Papua. Selama masa pemerintah Presiden Joko Widodo yang pertama, tidak ada daerah lain di luar Jawa yang mendapat begitu banyak perhatian, dibuktikan dengan kunjungan sebanyak dua hingga tiga setiap tahunnya dalam beberapa tahun terakhir.
Proyek Trans Papua sepanjang 4.330 km tersebut sejatinya dimulai sejak era Presiden BJ Habibie. Namun, pembangunannya baru dilakukan secara masif pada 2015 di era kepemimpinan Jokowi. Jalan raya ini diharapkan akan membawa pembangunan konektivitas, efisiensi biaya logistik dan transportasi bagi masyarakat Papua.
Entah apa alasannya, pembangunan mega proyek tersebut terus mendapatkan "rongrongan" dari kelompok bersenjata tertentu. Kamis 7 Maret 2019 lalu, sejumlah anggota TN yang tengah melakukan pergeseran pasukan untuk menjaga pembangunan proyek Trans Papua tiba-tiba diserang oleh kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Dalam insiden itu, 3 prajurit TNI tewas, sementara di pihak penyerang diperkirakan sekitar 10 orang tewas. Buntut penembakan tersebut, diperkirakan sebanyak 2.000 orang terpaksa mengungsi ke Wamena, Papua
Meski sangat besar potensi terjadinya kembali baku tembak, proyek jalan Trans Papua diklaim akan terus berlanjut. TNI tengah mengirimkan 600 personel tambahan yang berasal dari Divisi Kostrad III Makassar dan Batalyon Zeni Tempur 8 Makassar untuk ditempatkan di Kabupaten Nduga, Papua. Personel tambahan nantinya akan disebar untuk melanjutkan sekaligus mengamankan pembangunan proyek infrastruktur tersebut.
"Saat ini personel sudah sampai di Timika, 600 prajurit akan mulai kami berangkatkan hari ini ke Nduga," ujar Kepala Penerangan Kodam VII/Cenderawasih Kolonel Infanteri Muhammad Aidi seperti dikutip dari Tempo.co, akhir pekan lalu.
Langkah eskalasi pasukan tersebut menuai reaksi negatif dari banyak kalangan. Para aktivis kemanusiaan dan Lingkungan Hidup, khususnya pemerhati Papua, menilai pemerintah lebih mementingkan keberlanjutan pembangunan proyek tersebut, ketimbang kondisi rakyat Nduga yang sampai harus mengungsi demi nyawa. Motif pemerintah juga dipertanyakan ketika memilih menyebar personel untuk melakukan penjagaan ke kampung-kampung yang diduga menjadi basis kelompok bersenjata demi memutus jalur dan sumber logistik, ketimbang untuk melindungi masyarakat sekitar daerah konflik dari ancaman berulangnya kejadian serupa.
"600 anggota TNI sdh tiba di Timika utk jaga trans Papua. Pak @jokowi lebih prioritaskan Trans Papua daripada ribuan rakyat yang mengungsi ketakutan? Apa benar rakyat Papua tak penting bagi negara, yg penting adalah kekayaan Papua?" cuit akun @WenePapua1 pada 9 Maret 2019 lalu.
Gejala Militerisme Jokowi
Suatu hal yang ditunjukkan selama 17 tahun sejak wilayah itu diberikan status "Otonomi Khusus" adalah bahwa pembangunan ekonomi dan infrastruktur saja tidak cukup. Jokowi gagal memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua.
Oleh sebab itu, demi ambisi menuaikan janji lewat program kerja "Nawacita," yang salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran, mau tidak mau Jokowi wajib merampungkan target pembangunan jalan seluas 1.066 km di masa pemerintahannya ini.
Pengambilalihan pembangunan infrastruktur oleh pihak militer memperlihatkan gejala militerisme Jokowi yang makin kental. Pengiriman personel tambahan TNI ke Papua pasca serangan bukan tidak mungkin akan berujung pada diberlakukannya kembali Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, seperti di masa Orde Baru. TNI sendiri memastikan tidak akan melakukan Operasi Militer di Papua, namun siapa yang tahu seperti apa konflik ini akan berkembang.