Lihat ke Halaman Asli

Nofi Ndruru

Hidup harus berjalan

Memerdekakan Pendidikan Indonesia Timur

Diperbarui: 15 Agustus 2017   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Sabtu, 12 Agustus 2017, sudah hampir dua jam kami menyusuri jalan Waingapu-Matawai Katingga (salah satu desa di Kecamatan Kahaungweti, Kabupaten Sumba Timur), namun tak juga sampai di tempat tujuan kami. Setiap melihat Sekolah dasar, aku selalu memastikan kepada teman yang membonceng aku dalam perjalanan.

"Itu bukan sekolahnya?" tanyaku.

"Bukan kaka, masih jauh, masih lewat bukit." jawab Ebhan.

Mulai dari jalan aspal mulus hingga berlubang sana-sini tak juga tiba di SD Lapinu, yaitu salah satu sekolah paralel yang ada di Pulau Sumba ini. Tiga puluh orang kami dengan 16 kendaraan roda dua dan satu truk yang memuat barang-barang penting untuk didonasikan akhirnya memasuki jalan setapak menuju kampung Lapinu tempat dimana SD Lapinu berada. 

Jalanan yang kini kami lewati kian menantang. Medan terjal menanjak dan menurun, jurang disalah satu sisi, batu-batu besar hingga pasir siap menjebak atau menggelincirkan ban kendaraan, lubang-lubang baragam ukuran tak beraturan bertebaran, inilah yang sekarang kami hadapi. 

Setelah hampir 40 menit menyusuri jalan yang rusak parah tersebut, barulah kami tiba di depan ruangan yang berupa susunan gedeg-gedeg (dinding bambu) dengan anak-anak kecil berseragam berdiri berbaris tak beraturan membelakangi tiang bendera dan menyambut menghadap kami. Kedatangan kami memang telah dikoordinasikan dengan guru di SD Lapinu ini, tepatnya kegiatan ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi di Sumba Timur yakni GMNI, Stube Hemat Sumba dan Ana Humba. 

Saya sendiri berpartisipasi secara susulan dengan membawa Komunitas Humba Menulis. Anak-anak berseragam lusuh bahkan ada yang tidak berseragam mengenakan sendal jepit bahkan ada yang kaki ayam tersebut merupakan siswa dari sekolah paralel ini. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, berdiri rapuh ruangan tempat mereka belajar. Ruangan yang hanya ditutupi dengan gedeg di bagian bawah, sementara dinding terluar bagian atasnya menganga lebar tanpa sekatan apapun sebelum kemudian ditutup seng diatasnya. 

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

Satu bangunan dengan ukuran sekitar 4x20 meter tersebut terdiri dari 5 ruangan kelas yaitu kelas I-V, antar kelas hanya disekat dengan gedeg, namun masih menyisakan jalur bebas di mana kelas I masih dapat keluar masuk ke kelas II dari dinding sekat yang kurang lengkap. Meja dan kursi layaknya yang terdapat di warung-warung (memanjang dan menampung banyak dudukan), tak ada apapun yang mewarnai meja guru selain beberapa batang kapur tulis dan penghapus yang dijahit seadanya dari kain berisi kapas. 

Tak jauh dari ruangan kelas, ada beberapa ruangan lain yaitu mess guru. Keadaan mess guru tak jauh menyedihkannya dengan ruangan kelas. Lubang dinding di sana sini, lantai tak beralas dan tak ada lemari di dalamnya. Luar biasa perjuangan para guru untuk tidur dengan keadaan seperti ini. 

Sekolah ini berdiri sejak 15 Juni 2013 di Kampung Lapinu, Desa Matawai Katingga, Kecamatan Kahaungweti, Kabupaten Sumba Timur. SD ini merupakan sekolah paralel dari sekolah induknya yaitu SD Negeri Matawai Katingga yang terletak 8km dari SD Lapinu tersebut dengan medan jalan berbukit dan kondisi jalan rusak parah. 

Kebijakan didirikannya sekolah paralel tersebut dikarenakan banyaknya siswa yang berasal dari sekitar kampung tersebut (Kampung Lapinu, Kampung Waikudu dan Kampung Laijawa) sekolah dengan persentase kehadiran yang sangat rendah, 2-3 kali seminggu atau bahkan tidak sekolah selama seminggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline