Magrib ini, terjadi dialog ringan dengan Gadis Kecilku, Tsabita Marwahiyah Rusli,seorang siswa kelas VI SD, terkait bagaimana memaknai kehidupan. Dalam bincang-bincang kami terungkap bagaimana Tsabita ingin agar setiap ifthar, diberi sajian menu yang istimewa. Saya secara otomatis langsung bercerita, bagaimana seorang dosen S2 sewaktu kuliah di Amerika, bercerita, "Bahwa di Amerika orang sudah tidak disibukkan lagi dengan urusan makan apa, dimana atau menu apa, karena bagi orang Amerika kata beliau, urusan makan sudah 'selesai'.
Saya coba untuk memahami, makin ke sini makin mengerti dengan ungkapan beliau, setelah ikut dalam beberapa wa grup, yang mengajarkan bagaimana pola hidup sehat. Dengan melaksanakan pola hidup sehat ini, banyak peserta telah mendapatkan bonus dengan penurunan berat badan dan memiliki penampilan yang makin menuju ideal tentunya. Meski Sang Mentor selalu mengatakan bahwa tujuan kita mengikuti pola hidup sehat, adalah dalam rangka untuk bisa kuat dan makin maksimal ibadah.
Karena seorang yang sakit-sakitan akan susah untuk maksimal beribadah, apabila lutut sudah mulai sakit-sakitan, sehingga dengan berat hati harus shalat sambil duduk di kursi, maka pahala yang diperoleh jelas tidak sama dengan mereka yang shalatnya duduk, begitu motivasi spiritual yang beliau berikan untuk menyemangati kami. Di Ramdhan kemarin begitu terasa apa yang beliau sampaikan dan cukup mengharukan terasa, begitu melihat jama'ah yang shalat di atas kursi. Membulatkan tekad serta memperkuat semangat untuk bisa memaksa diri, bahwa hidup sehat adalah sebuah keharusan.
Apalagi jika ditinjau dari pola yang sudah Rasulullah SAW contohkan, dimana dengan hanya tiga biji kurma serta air putih sudah mencukupi bagi Beliau dan para Sahabat-sahabat terpilih, sebagai penyerta menu berbuka, betapa sederhana dan tidak perlu ribetnya, untuk menghabiskan waktu membahas hal yang berurusan dengan masalah makan, makan dan makan. Justru yag menjadi keseriusan bagi mereka adalah bagaimana mampu memaksimalkan hari-hari mereka dengan bergam amal shaleh.
Realitas seperti inilah yang ingin coba saya tularkan kepada Ananda Tsabita, agar dia bisa juga mengalami peningkatan kecerdasab emosional, belajar untuk menikmati menu-menu yang disajikan serta diiringi dengan rasa syukur, agar Allah makin menambahkan karuniaNya. Apalagi jika dilihat mereka-mereka yang ditemui, didengar dan disaksikan sendiri masih banyak yang kesulitan, jangankan memikirkan jenis menu apa yang akan dikonsumsi, mereka masih pusing, galau memikirkan, akan makan apa hari ini, akankah hari ini masih bisa menyuap nasi, atau mencukupkan dengan suapan yang kemarin.
Sebagai seorang bocah saya sangat memahami, kebelummengertian Gadis Kecilku Tsabita, bisa dimaklumi, karena berada dalam kondisi perut yang baru mulai terisi setelah seharian menahan lapar. "Tadi di sekolah Tsabita mengaku kalau dia sakit perut lagi, seperti Ahad beberapa hari lalu, sewaktu kami hiking", kata Tsabita. Dengan sedikikit kaget saya mencoba bersikap datar dan mengingatkan dia agar belajar untuk memakan apa saja tanpa banyak pilih, karena terkadang dia ngakunya 'perut Bita tidak lapar' , yang sering saya ingatkan agar tetap makan meski merasa tidak lapar, karena di usus kita terus terjadi proses pencernaan, yang tentu saja mengolah makanan yang kita konsumsi.
Seiring berjalannya waktu semoga tsabita makin mengerti, bahwa hidup tidak selalu akan sesuai dengan harapan, tidak selamanya apa yang diinginkan bisa jadi kenyataan. Dengan menjalani dan memahami kehidupan secara lebih 'keras' semoga tasbita bisa cepat mengalami proses pendewasan.
Sebagaimana yang dengan bahasa yang terasa sudah berat dan sanagat bijak dijawab oleh Tsabita, bahwa hari ini Bita belum mau lagi seperti yang saya katakana, bisa jadi seiring berjalannya waktu Bita kan mengerti, dengan tidak lugu dia ungkapkan sambil menikmati hidangan, berbuka hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H