Lihat ke Halaman Asli

Menyokong Garuda

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Skuad Tim Nasional Indonesia U-19. Sumber: Kompas.com

[caption id="" align="alignnone" width="702" caption="Skuad Tim Nasional Indonesia U-19. Sumber: Kompas.com"][/caption] Tulisan ini saya buat setelah pada tengah malam saya menonton siaran ulang pertandingan Malaysia versus Indonesia. Saya amat sangat bersemangat dengan Tim Muda ini, jadi amat menyesal karena satu dan lain hal tidak bisa menonton pertandingannya secara langsung (walau melalui televisi). Satu hal yang saya sangat minati ketika menonton pertandingan yang mereka mainkan. Saya sangat menikmati tiap kaki-kaki generation Z ini. Gaya mereka, ketenangan mereka, visi bersama mereka, ekspertise mereka di bidang mereka masing-masing. Saya sangat menikmatinya. Walaupun hasil tak mereka dapatkan dengan sempurna, minimal sebagai orang yang hobi bermain sepakbola, mereka membuat saya ingin menonton pertandingan sepakbola, padahal saya bukan penggila pertandingan sepakbola kecuali tim besar saya sedang bermain (Barcelona, dan timnas indonesia (walau hanya jadi bahan pembantaian)). Tiki Taka Ada filosofis yang dekat antara Tim Garuda Jaya dan Barcelona. Mungkin ini adalah salah satu yang menyebabkan saya menyukai gaya prmainan mereka, dan hampir sama dengan problem yang terjadi di Barcelona, masalah finishing dan sulitnya mendapatkan penyerang tengah yang pas, itu juga merupakan permasalahan yang dihadapi tim dengan gaya permainan tiki taka. Namun secara permainan, pemain yang seluruhnya bergerak, bola yang dialirkan dari kaki ke kaki, 2-4 meter bergeleser di lahan hijau, sesekali bola itu terseentak ke atas, kadang dalam bentuk chip ball saja atau long ball 'aneh' yang presisi dari pemain tengah yang menjaga ke dalaman dan kreatif, sungguh elegan, dan bergaya. Indah. Hasilnya berapapun, selalu ada kepuasan menonton mereka bermain. Kecuali saat umpan-umpan long ball mainstream mulai dimainkan dengan amat membosankan, maka pada saat itu juga hilanglah kesan atraktif. Karena itu juga saya menyukai Swansea city pada waktu diasuh oleh Brendan Roger yang juga percaya pada filosofi tiki taka. Dari wikipedia, nama tiki taka sebenernya berasal dari sebuah mainan bouncing ball. Permainan yang mengayunkan dua bola berat yang dihubungkan dengan tali pada sebuah kayu sehingga bola saling berbenturan lalu menjauh lalu berbenturan kembali. Kalau di Inggris mainan ini bernama crackers. Inti dari permainan tiki taka technically adalah passing pendek dan bergerak. Namun secara filosofis permainan ini adalah bagaimana menguasai pertandingan dengan passing, pergerakan, kesabaran, dan penguasaan bola. Pada gaya permainan ini, bermain bola sebagai sebuah visi bersama adalah hal yang harus ditanamkan. Karenanya latihan yang keras dan sering membentuk permainan itu sendiri. Karena dalam tiki taka dibutuhkan pergerakan yang sangat cair namun tetap memperhatikan keseimbangan antara bertahan dan menyerang. Karenanya inti dari tiki taka adalah kecairan passing dan pergerakan dari pemain tengah. Karena mereka yang menahan pemain belakang agar masih mengkontrol bagian belakang dan pemain depan agar fokus pada penciptaan kesempatan. Pemain tengah juga harus kreatif dalam menciptakan passing, tak hanya melakukan pass pass namun membawa bola, mengubah komposisi pemain belakang lawan melihat pemain depan yang menciptakan kesempatan dan memberikan bola dengan cara kreatif dan tak terduga. Selain itu juga dibutuhkan seorang yang menjaga kedalaman, untuk memastikan permainan terkontrol dengan baik dan seimbang dalam hal penyerangan dan pertahanan. Hal ini dapat kita temui pada trio xavi, iniesta dan sergio bosquetz di Barcelona dan Spanyol. Pada Swansea city, Joe Allen dikenal sebagai penjaga kedalaman bahkan pernah menjadi pemain yang tercatat paling banyak melakukan passing di dunia. Secara logis, permainan tiki taka memang memberikan kemungkinan menang yang lebih besar. Mengenai ini Brendan Rogers pada saat mengasuh Swansea city pernah menyatakan (sebagaimana dilansir di situ www.liverpoolfc.com pada saat membahas tiki taka):

"I like to control games. I like to be responsible for our own destiny. If you are better than your opponent with the ball you have a 79 per cent chance of winning the game - for me it is quite logical. It doesn't matter how big or small you are, if you don't have the ball you can't score.

"My template for everything is organisation. With the ball you have to know the movement patterns, the rotation, the fluidity and positioning of the team. Then there's our defensive organisation...so if it is not going well we have a default mechanism which makes us hard to beat and we can pass our way into the game again. Rest with the ball. Then we'll build again." (Rodgers 2012)

terjemahan bebas: "Aku suka mengontrol permainan. Aku suka bertanggung jawab atas nasib kami (sebagai tim dalam sebuah permainan). Jika kamu lebih baik dari lawan kamu dalam hal menguasai pertandingan, kamu punya 79 persen untuk memenangi pertandingan- bagi saya ini sangat logis. Tidak peduli seberapa besar atau kecil kita, kalau kita tidak memiliki bola, kita tidak akan mendapatkan gol. "Template saya untuk semua hal adalah organisasi. Dengan bola kamu harus tahu pola pergerakan, rotasi, kecairan dan berposisi dalam sebuah tim. Dan inilah organisasi pertahanan kami. Jadi apabila ini tidak berjalan baik, kami memiliki mekanisme standar yang membuat kami sulit untuk dikalahkan dan kami mendapatkan lagi jalan kepada pertandingan. Seluruhnya dengan memegang bola. Lalu kami membangun lagi." Jadi, filosofi permainan tiki taka berawal dari pemikiran bahwa makin banyak bola dipegang, makin mungkin sebuah tim akan memenangkan pertandingan. Hal ini lebih lanjut ditentang oleh gaya permainan pragmatis yang diciptakan oleh Mourinho. Beberapa hal yang menjadi filosofi gaya permainan Mourinho ketika menghancurkan positioning style ala Barcelona adalah (sebagaimana dikutip dari "The Special One" yang ditulis oleh Diego Torres sebagaimana dilansir oleh The Guardian): "1) The game is won by the team who commits fewer errors. Permainan dimenangkan oleh tim yang membuat kesalahan paling sedikit 2) Football favours whoever provokes more errors in the opposition. Sepakbola berpihak pada pihak yang memprovokasi pihak lawan sehingga membuat banyak kesalahan 3) Away from home, instead of trying to be superior to the opposition, it's better to encourage their mistakes. Jauh dari kandang, dibanding mencoba untuk superior terhadap lawan, lebih baik untuk mendorong mereka membuat kesalahan 4) Whoever has the ball is more likely to make a mistake. Siapa yang memiliki bola adalah yang paling mungkin melakukan kesalahan 5) Whoever renounces possession reduces the possibility of making a mistake. Siapa yang meninggalkan penguasaan maka mengurangi kemungkinan dari membuat kesalahan 6) Whoever has the ball has fear. Siapa yang memegang bola, pasti memiliki ketakutan 7) Whoever does not have it is thereby stronger." Siapa yang tidak memegang bola, maka akan lebih kuat. Prinsip2 ini yang akhirnya membawa Mourinho sukses 'memberikan perlawanan' pada dominasi Barca era Pep Guardiola. Namun bagi saya, untuk kondisi fisik seperti pemain Indonesia yang agak kurang menguntungkan kalau beradu fisik, maka pendekatan yang digunakan oleh Brendan Rogrerds, Pep Guardiola, Luis Aragones, tentu lebih logis. Namun tentu dengan problem yang harus dihadapi, engkau dapat penguasaan, maka beban mental harus dimenangkan dalam pertandingan, karena teori Mourinho adalah sepenuhnya tentang mentally attack. Non-Karbitan Saya belum melakukan pencarian yang mendalam tentang sejarah terbentuk timnas U19, namun dari permainan yang saya lihat, jelas ini bukanlah tim karbitan. Ini adalah tim yang dibangun dengan satu persatu batu bata spektrum sepakbola. Dan saya harap ke depan, tim ini terus terjaga kesehatnnya di semua lini di semua bidang yang mendukungnya, tidak hanya teknik persepakbolaannya, namun semua spektrumnya. PSSI perlu hati-hati mebangun tim harapan ini jangan terlalu keras digenggam dan jangan terlalu lunak dilepas. Timnas ini cukup matang dari segi permainan mungkin sangat beralasan. Tim ini dibangun dari selekasi yang terus berjalan dan merupakan asuhan dari Indra Syafri sejauh ini yang saya tahu dari tim U-18 (mungkin juga dari U-17). Pada saat itu Indonesia berhasil menjuarai turnamen internasional di Hongkong dari beberapa pemain bintang U-18 saat itu menjadi Most Valuable Player (Gavin Kwan Adsit (kapten timnas sebelum Evan Dimas) dan Mauriando Djonak Uropmabin). Selain itu, tim ini juga tampil impresive di ajang kompetisi internasional di Iran dengan melibas Pakistan dengan Skor 25-0. 12 gol dicetak oleh satu pemain bernama Sabeq Fahmi. Pemain-pemain ini kemudian adalah pemain yang tidak kita kenal dalam sepak terjang Timnas U-19 sekarang karena Gavin Kwan Adsit lebih memilih untuk melanjutkan karir profesionalnya di Rumania bersama CFR Cluj Reserves, bahkan sekarang telah berhasil memperkuat Niendorfer TSV U-19. Selain itu Mariando Djonak Uropmabin tidak berhasil masuk ke Timnas U-19 karna sakit hepatitis B dan Sabeq Fahmi cidera cukup berat ketika mengikuti turnamen di Hongkong Tahun 2013. Tidak digunakannya ketiga pemain ini, pastinya bukan hal yang mudah bagi coach Indra Syafri. Tidaklah mungkin para ujung tombak andalan mereka dibiarkan begitu saja tidak memperkuat timnas tanpa alasan yang jelas. Pemain-pemain yang dibesarkannya dan sukses memenangkan tropi-tropi individual. Walaupun dengan permasalahan ini, tentu harus dihadapi dan tim ini akhirnya dibangun dengan sumberdaya yang ada sekarang. Namun sebagaimana dinyatakan brendan Rogerds tadi, style sepakbola tiki taka tidak mengenal besar atau kecilnya tim, namun organisasi bermain, itulah inti dari tim. karenanya memang benar, hasilnya dapat dilihat. Korea Selatan sebagai juara bertahan mampu dilibas oleh Timnas U-19. Dari segi penguasaan pertandingan maupun score, timnas u19 jelas-jelas mengungguli tim korea selatan yang juga dikenal atas kolektivitas, skill individual serta fisik mereka yang mumpuni. Kalaupun tim ini inferior, maka sulit sekali mengalahkan timnas U19, kalaupun kalah tidak dengan score yang besar. Maka kita dapat melihat sepanjang tur tur yang dilakukan oleh Timnas U19, maka prosentasi mereka kalah sangat kecil, tercatat hanya kalah dari Oman dan Myanmar dengan skor yang tipis. PR Besar Pekerjaan rumah yang paling besar dari tim dengan gaya tiki taka adalah mereka sendiri. Mental dapat menjadi segalanya dalam sebuah pertandingan, terlebih lagi tim dengan filosofis memegang bola lebih banyak. Mungkin sekali dikuasai oleh tim lawan tidak terlalu berpengaruh, tapi kala kondisi ini dibiarkan berlama-lama maka kepercayaan diri untuk memegang bola dikhawatirkan akan hilang dan sebagaimana yang sering terjadi pada timnas senior mereka, memegang bola menjadi hal yang amat dihindari karena seringkali menyebabkan blunder lantaran kalah secara psikologis dari tim lawan. Karenanya asupan psikologis amat perlu diberikan oleh timnas U19. Hal ini secara jeli dilihat oleh "prof" Indra Syafri. Coach Indra memberikan semua yang dibutuhkan oleh timnas U19 salah satunya pendampingan oleh psikolog. Di sisi lain yang menjadi PR besar dari tim ini adalah kreatifitas di lini tengah dan lini depan. Amat mengkhawatirkan melihat permainan Hargianto kemarin pada babak pertama melawan Malaysia. Hargianto yang biasanya bersanding dengan Zulfiandi biasanya pergerakan dan passingnya tidak monoton seperti kemarin. Passing long ball yang seringkali diberikan kepada Ilhamudin Armayn banyak sekali gagal dan sangat monoton dari segi arah bola maupun jenis passing yang diberikan. Namun pada babak kedua dengan cerdik Coach Indra melihat hal ini (disamping juga Hargianto mendapatkan kartu kuning) dengan menggantikan dia dengan Zulfiandi. Baru setelah itu terlihat Trio Zulfiandi (yang unggul dari sisi fisik dan tehnik dri pemain malaysia), Evan Dimas, dan Paulo Sitanggang bermain satu dua menghancurkan pertahan Tim Malaysia U-21. Walaupun tidak ada hasil jelas, permainan atraktif dari timnas U19 sangat menghibur. Karenanya menurut saya, kreatifitas di lini tengah menjadi inti dari bangunan tim secara utuh dari U-19. Sejauh ini tim ini cukup sehat karna pemain utama maupun cadangan untuk lini tengah dapat berganti-ganti dengan mudah. Kalau satu bermain buruk yang lan dapat menggantikannya. Namun saya berharap mungkin lini tengah dan lini depan ini lebih diperkuat lagi, mungkin opsi untuk memanggil kembali Gavin Kwan, Mariando Djonak Uropmabin, dan Sabeq Fahmi bisa jadi pilihan yang menarik. Menyandingkan kembali Evan Dimas dengan Rekan Penyerangnya, "Sabeq Fahmi". Tentunya kita lihat saja nanti apa yang akan dilakukan oleh Coach Indra Syafri. Saya harap beliau terus bersih dari kepentingan dan lebih melihat bagaimana timnas ini berkembang. Simpul Artikel ini saya buat dengan harapan salah satu bidang ini menjadi bagian dari kebangkitan generasi Z Indonesia. Generasi ini yang menjadi contoh permainan bola adalah permainan satu tim, permainan indah kaki ke kaki, bukan hanya milik satu orang. Memang pada akhirnya ada satu orang yang menjadi bintag, namun layaknya Lionel Messi yang tidak bisa sombong sendiri karna nafasnya adalah Iniesta, begitu juga Evan Dimas tidak akan besar tanpa sokongan rekan-rekannya. Karenanya saya dengan apapun yang saya bisa akan menjadi the Big Fan of Indonesia Nasional Team. Karena olahraga inilah yang hanya bisa memberikan senyum bahkan ketika satu negara seperti Gaza digempur habis-habisan. Bahkan sampai titik darah penghabisannya, anak2 kecil Gaza dapat dengan riang bermain bola dipantai sebelum nafas mereka dihentikan oleh ledakan rudal penjajah Israel. Sepak bola adalah senyum. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline