Cerita tentang seorang lakon yang melindungi saksi atau korban dari ancaman dan serangan tentu kerap kita lihat dalam film besutan Hollywood. Sebut saja Witness, Witness Protection atau Trilogi Bourne. Benang merah dari semua film ini sama, saksi atau korban berperan penting dalam pemecahan sebuah kasus. Oleh karena itu, mereka sering mengalami situasi, kejadian dan tekanan yang membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Tidak hanya di dalam film, hal-hal semacam ini nyata terjadi di keseharian kita.
Lantas siapa Sang Lakon yang bisa melindungi?
Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam sistem peradilan kita merujuk ke Pasal 184 ayat (1) KUHAP saksi menempati posisi paling penting sebagai alat bukti, diatas keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keberhasilan mengolah alat-alat bukti inilah yang menentukan keberhasilan pengungkapan sebuah kasus. Disinilah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ikut memainkan peranan pentingnya.
LPSK lahir melalui perjalanan yang cukup panjang. Pasca reformasi, yaitu tahun 1999, muncul suara-suara masyarakat yang menghendaki terbentuknya Undang-Undang tentang perlindungan saksi.
Tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No.VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Tahun 2003, Indonesia meratifikasi United Nation Convention Against Corruption. Salah satu implikasinya, Indonesia wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi dan orang-orang terdekatnya dari intimidasi dan tekanan.
Dua tahun berselang, RUU Perlindungan Saksi dan Korban mulai masuk dalam pembahasan DPR dan Pemerintah. Setelah sekian lama pembahasan, pada Juli 2006 Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU ini adalah pembentukan LPSK yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Inilah cikal bakal terbentuknya LPSK.
Sekilas Tentang LPSK