Lihat ke Halaman Asli

Zakat Sebagai Pengurang Pajak

Diperbarui: 28 Desember 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Foto: Google"][/caption]

Menurut UU No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak merupakan suatu kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh setiap orang maupun badan yang sifatnya memaksa namun tetap berdasarkan pada Undang-undang, dan tidak mendapat imbalan secara langsung serta digunakan untuk kebutuhan negara juga kemakmuran rakyatnya. Berdasarkan definisi tersebut, pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, terutama di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran untuk pembangunan. Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Zakat merupakan harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Masyarakat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam mempunyai kewajiban terhadap keduanya, baik pajak maupun zakat. Namun beberapa pendapat lain beranggapan bahwa setelah membayar zakat dapat mengurangi jumlah yang harus dibayarkan untuk pajak. Hal ini menimbulkan pro dan kontra terkait zakat yang dapat digunakan sebagai pengurang pajak itu sendiri.

Bagi umat Islam di Indonesia permasalahan zakat sebagai pengurang pajak merupakan suatu keringanan tersendiri. Karena jika pada awalnya mereka harus membayar keduanya, dengan permasalahan tersebut mereka hanya perlu membayar sisa kurangnya pajak dari zakat yang sudah mereka keluarkan. Mengenai proses zakat dapat mengurangi pembayaran pajak sudah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, selain itu pada Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 menjelaskan bahwa pengurangan zakat dari laba atau pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda. Hal ini juga didikung oleh dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 tentang Pajak Penghasilan yang berbunyi “Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak

Dari bunyi pasal diatas, maka dijelaskan bahwa pengurangan pajak hanyaberlaku untuk zakat yang dikeluarkan oleh umat Islam. Hal ini menimbulkan kecemburuan dari umat beragama lain di Indonesia. Karena pada dasarnya di dalam setiap agama yang ada di Indonesia terdapat kewajiban sejenis zakat dengan ketentuan yang berbeda tentunya, misalnya dalam agama Kristem ada kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%. Ditinjau dari hal lain, dengan berlakunya zakat sebagai pengurang pajak, otomatis mengurangi alokasi dana untuk pembangunan, karena pada dasarnya alokasi dana zakat adalah lebih kepada kemakmuran masyarakat.

Menanggapi pro dan kontra tersebut, telah dikeluarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menjelaskan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai pengurang pajak adalah zakat dan sumbangan keagamaan lainnya yang bersifat wajib dan diterima oleh lembaga keagamaan yang sah dimata pemerintah. Terkait berkurangnya alokasi dana untuk pembangunan, Pemerintah Indonesia dapat gencar melakukan pembangunan dengan strategi Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline