Lihat ke Halaman Asli

Noer Ima Kaltsum

Guru Privat

Orang Tua yang Hidup di Era Cekrek-cekrek, Harus Bagaimana?

Diperbarui: 8 Maret 2016   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - selfie (Shutterstock)"][/caption]Saya sering membandingkan hidup di masa kecil dulu dengan sekarang. Kepada anak saya yang mulai beranjak remaja, saya selalu memberikan nasihat. Padahal dulu waktu saya seusia dhenok, Ibu dan Bapak tak banyak memberikan nasihat, hanya yang penting-penting saja.

Mungkin karena masanya berbeda sehingga saya harus ekstra memberi nasihat. Tak perlu banyak hingga berbusa, sedikit nasihat yang penting mengena. Oleh karena itu saya harus memilih kata yang berkualitas. Tidak sembarang kalimat saya sampaikan. Saya harus hemat energi untuk yang satu ini.

Saya sering bilang ke dhenok, diawali dengan kata ketika Mama kecil, ketika Mama seusiamu, ketika Mama kuliah, dan lain-lain. Mengapa saya mengawali pembicaraan dengan kata-kata itu? Agar dhenok bisa membayangkan Ibu yang akan bicara ini usianya seperti dia dengan segala keimutannya. Kalau sekiranya dhenok bisa menerima dan sesuai kemauannya dia tak berkomentar apa-apa, tapi kalau tak sesuai biasanya dia akan bilang, ”Itu dulu mah. Dulu dan sekarang jelas beda.” (episode pembangkangan)

“Tapi adab sopan santun, adab bergaul dalam Islam, pendidikan akhlak sejak dulu sampai sekarang tetap sama. Jaman memang sudah banyak berubah. Sekarang dibilang jaman modern, kalau yang dulu dianggap kuno. Tapi lihat anak-anak jaman sekarang yang dibilang modern, jauh berbeda dengan anak-anak jaman dulu yang dianggap kuno. Yang dulu dianggap tabu dan memalukan, sekarang disebut modern, wajar dan biasa saja.

"Semua kembali pada masing-masing anak, masing-masing keluarga. Mama yakin, orang tua sekarang ketika masih remaja  yang dididik dengan disiplin dan keras oleh orang tuanya maka mereka juga akan melakukan hal yang sama. Kata-kata larangan menunjuk mengapa tidak diizinkan tapi dengan alasan kuat.

"Coba lihat anak-anak yang tidak dilarang ini-itu, mereka akan cenderung bebas tak terbatas (meskipun tidak semua). Carilah sendiri contohnya dari teman yang kamu kenal. Carilah perbedaan temanmu yang dididik dengan beberapa larangan dan yang bebas tak terbatas.”

***

Sekarang jamannya cekrek-cekrek, sedikit-sedikit cekrek. Apa sih cekrek-cekrek? Saya hanya mengambil kata-kata dari anak muda jaman sekarang. Cekrek-cekrek alias foto-foto. Orang yang usianya hampir sama dengan saya, ketika remaja memasuki tahun 1980-an sampai sebelum tahun dua ribu, mereka tak mungkin sebentar-sebentar selfie. Foto diri saja tidak dilakukan, apalagi memotret kerbau yang ada di sawah bukan untuk keperluan fotografi.

Mengapa orang jaman dulu kok tidak sedikit-sedikit cekrek? Ya, iyalah. Wong mau foto saja uba rampenya banyak. Kamera, film, lalu nanti cuci film, mencetak foto, yang duitnya untuk mendapatkan satu lembar foto lumayan banyak. Jangankan untuk foto, untuk transport sekolah dan jajan saja tidak cukup. Lain dengan anak sekarang berani lapar yang penting selfie dan hape ada pulsa/kuota internetnya.

Anak sekolah dan mahasiswa yang belum kerja jaman dulu, yang penting belajar dan bisa beli buku. Jajan juga seadanya, sewajarnya saja. Paling pol kalau mau ulangan/ujian bila tak belajar mengandalkan senjata berupa kertas panjang berisi rumus praktis. Mungkin juga melirik sana-sini. Berbeda dengan anak-anak sekolah (termasuk mahasiswa) sekarang, tidak belajar ya tetap santai-santai saja. Ada mbah Google yang siap membantu asal tidak ketahuan. Syukur-syukur bisa cekrek soal lalu kirim ke orang yang pintar, yang kira-kira bisa membantu menjawab.

Kembali ke masalah cekrek tadi. Orang mau makan saja makanan difoto. Orang mau mandi update status dengan disertai foto. Kegiatan apa pun ditulis dalam status lalu mengunggah foto. Ini dilakukan terutama anak-anak yang masih berada pada masa puber. Ada yang mengambil gambar ketika berenang atau jajan bareng di kafe sama teman-temannya. Lalu update status bla-bla-bla. Ealah, mungkin si anak tak tahu diri. Berani nulis status macam-macam, padahal orang tuanya ngutang tetangga sana-sini udah lama nggak lunas-lunas. Kalau orang tuanya punya duit bukan untuk mengurangi hutang dengan cara mencicil malah untuk membeli gaya hidup. Prang preng…. (episode ngajak perang)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline