CERITA PENDEK
DARI GENTHONG KELUAR EMAS PERHIASAN
Ketika masih kelas 2 SD dulu, sekitar tahun 78-an sebelum berangkat sekolah, aku harus mengisi genthong tempat air. Kebetulan kami masuk sekolah siang hari. Aku dan mbak Ika bekerja sama menimba air. Tali karet untuk menimba kami tarik bergantian, sehingga tidak terlalu berat.
Dua genthong air kami isi penuh. Genthong yang satu, ukuran besar airnya untuk memasak. Kadang-kadang untuk persediaan minum kalau kami kehausan dari bermain. Air genthong atau air langsung diambil dari sumur, bila diminum rasanya segar karena kaya mineral. Saat itu air dari sumber mata air aman diminum tanpa dimasak lebih dahulu.
Genthong yang kedua ukurannya kecil. Genthong ini diletakkan di bibir sumur, lalu diikatkan pada tiang dengan tali. Dua tiang sumur bagian atas dihubungkan dengan kayu. Kayu inilah untuk menempatkan katrol atau kerekan. Genthong kedua digunakan untuk persediaan air wudhu. Kami menyebutnya dengan sebutan padasan.
Bagi masyarakat Yogya saat itu, bila memiliki air dalam genthong merasa lebih nyaman dan ayem. Rata-rata hampir tiap keluarga atau tiap rumah memiliki genthong tempat air. Waktu itu dunia plastik belum merajai seperti sekarang ini. Ember yang digunakan juga dari karet atau dari seng. Kalau bukan ember besar dari seng yang digunakan untuk mencuci pakaian, biasanya orang memiliki pengaron. Pengaron atau tempat air dari tanah liat (gerabah).
Setelah plastik mulai dikenal masyarakat, pengaron dan genthong juga mulai ditinggalkan. Akan tetapi Ibu dan Bapak tetap menggunakan genthong sebagai tempat menyimpan air.
“Orang-orang sudah tak lagi menggunakan genthong, Bu.”kataku
“Biarlah. Memang resiko pecah sangat besar. Tapi selagi tidak kena pukulan atau hantaman, genthong ini tidak akan pecah.”
“Pakai ember plastik saja, Bu.”
“Terlalu sayang bila tidak digunakan.”