Lihat ke Halaman Asli

Noer Ima Kaltsum

Guru Privat

Hujan di Musim Kemarau, pada Bulan Ramadhan Tahun Ini

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HUJAN DI MUSIM KEMARAU, PADA BULAN RAMADHAN TAHUN INI

Oleh : Kahfi Noer

Beberapa hari ini, di kotaku Karanganyar pada siang hari mendung. Udara tidak panas, juga tidak dingin. Bagi saya yang sedang menjalankan ibadah puasa sangat menguntungkan, karena siang hari tidak terlalu haus dan dapat menahan lapar.

Siang, sore dan malam hari kemarin hujan turun dengan derasnya. Saya bersyukur,  alhamdulillah. Sawah kiri kanan yang mulai gersang setelah padi dipanen terasa sejuk. Akan tetapi malam hari udara mulai terasa dingin (atis). Jaket pun harus saya kenakan untuk mengusir hawa dingin.

Tidak tanggung-tanggung, malam hari hingga menjelang sahur tadi hujan tiada henti. Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu, sama seperti saat ini. Hujan turun di musim kemarau. Ada orang yang bilang “salah mangsa”, tidak waktunya hujan kok ya hujan. Ada yang bilang musim kemaraunya mundur. Ada yang bilang, wah.... jemuranku tidak kering. Kata-kata yang lain, yang lebih bernada marah pada Sang Pencipta juga ada.

Hujan turun di musim kemarau, bagi saya itu hal biasa saja. Nikmati saja rintik hujan, atau tetes-tetes air pada genting rumah kita. Saya syukuri hujan turun, mau di musim hujan atau di musim kemarau.

Sebagai muslim, saya menghadapi hujan dengan penuh suka cita. Mungkin beberapa orang juga merasakan. Tidak pada musim penghujan, akan tetapi bila Hari Raya Idhul Fitri akan datang, langit mendung kemudian turun gerimis. Gerimis datang sekedar membasahi lapangan. Bagamana mau menolak? Bagaimana mau mengeluh?

Hanya saja saya teramat kasihan dengan beberapa ekor ayam saya. Bila malam hari, ayam-ayam tersebut tidak mau menempati kandang. Ayam jago dan dua ekor dere (ayam remaja, barangkali. Ini bahasanya orang Karanganyar), sukanya tidur di atas pohon mangga di depan rumah.

Ayam betina dengan lima ekor anaknya yang masih imut, juga tidak mau tidur di dalam kandang. Ayam-ayam ini lebih suka menunggu pagi di depan rumah, dekat dronjongan (walah, ini kalau dalam bahasa Fisika adalah bidang miring).

Biarpun hujan, ayam-ayam tadi tidak mau berteduh. Ayam betina dan lima ekor anaknya yang masih imut saya pindah di teras depan rumah. Saya kasihan, tidak tega melihat mereka kehujanan. Pagi tadi sewaktu mau sahur, saya keluar rumah menikmati rintik hujan sambil melihat ke teras. Masya Allah, ayam-ayam saya tidak ada di tempat. Saya tengok, ternyata ayam-ayam tadi posisinya seperti hari-hari sebelumnya, yaitu berada di dronjongan. Kehujanan lagi. Ayam, ayam. Kamu kok ya menyiksa diri. Nanti kalau meriang atau masuk angin bagaimana?

Lupakan ayam-ayam saya tadi. Sekarang langit sudah terang, unggas di seberang sungai yang berada di rumpun bambu berkicau saling menyahut. Semua ini mengingatkan saya di suasana Yogyakarta sekitar 33 tahun yang lalu saat saya masih SD. Menjalankan ibadah puasa saat libur kenaikan kelas.

Semoga hujan di musim kemarau ini membawa berkah bagi kita semua. Hari ini masuk sekolah pertama kali. Saya harus mengajar dan menyiapkan anak-anak yang mau sekolah, terutama si kecil yang mau masuk TK kecil. (SELESAI)

Karanganyar, 14 Juli 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline