Lihat ke Halaman Asli

Hilman I.N

Pegawai Negeri

Ketika Gemerlap Padam: Menavigasi Sepi Pasca Liburan

Diperbarui: 30 Januari 2025   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: https://www.ablrecruitment.com/post-holiday-blues-and-how-to-tackle-it/


Ketika momen libur panjang Isra Mikraj dan Imlek 2025 berakhir, jalanan yang sebelumnya ramai dengan wisatawan mulai lengang, hotel-hotel yang penuh sesak perlahan kembali ke ritme normal, dan aktivitas harian kembali mengambil alih. Kegembiraan yang meledak-ledak selama liburan perlahan meredup, berganti dengan rutinitas yang terasa lebih datar. Tidak sedikit yang merasakan kekosongan, bahkan kesedihan, seolah ada sesuatu yang hilang. Fenomena ini dikenal sebagai "post-holiday blues," sebuah kondisi psikologis yang muncul akibat transisi dari masa penuh kebahagiaan menuju keseharian yang lebih stabil, namun sering kali terasa monoton.

Para psikolog mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi pada kondisi ini. Salah satunya adalah perubahan mendadak dari periode penuh kegembiraan dan kebersamaan menuju kesendirian dan tanggung jawab. Selama liburan, manusia cenderung mengalami lonjakan hormon kebahagiaan, dopamin dan serotonin, yang dipicu oleh interaksi sosial, makanan lezat, dan momen kebersamaan. Namun, begitu liburan berakhir, kadar hormon tersebut bisa menurun drastis, menciptakan perasaan hampa dan lesu. Bisa dibilang, ini seperti pesta besar yang berakhir tanpa ada yang membantu membereskan sisa makanan dan piring kotor.

Di sisi lain, tekanan finansial pasca-liburan sering kali menjadi beban pikiran yang tidak disadari. Pengeluaran berlebih untuk hadiah, perjalanan, dan pesta dapat meninggalkan jejak kecemasan, terutama jika keseimbangan keuangan mulai terganggu. Bagi sebagian orang, melihat tagihan yang menumpuk justru membuat stres semakin nyata, memperburuk kondisi psikologis yang sudah rapuh. Seolah-olah dompet kita ikut terkena "post-holiday blues" dan butuh terapi keuangan.

Namun, yang paling mencolok adalah perasaan kehilangan makna. Selama liburan, ada sesuatu yang kita nantikan, perayaan, reuni keluarga, atau bahkan sekadar waktu untuk bersantai. Ketika semuanya usai, banyak yang merasa kembali ke dunia yang tak menawarkan kegembiraan serupa. Ini seperti turun dari puncak gunung yang tinggi ke dataran rendah yang membosankan. Atau lebih buruk lagi, seperti kembali ke kantor dan menyadari bahwa email-email yang menumpuk lebih tinggi daripada semangat kerja.

Maka, bagaimana cara mengatasi post-holiday blues? Langkah pertama adalah menerima bahwa perasaan ini wajar. Kesedihan pasca-liburan bukan tanda kelemahan, melainkan bagian alami dari siklus emosional manusia. Yang perlu dilakukan adalah menavigasi transisi ini dengan lebih sadar dan terencana.

Salah satu cara efektif adalah dengan membangun kembali rutinitas secara bertahap. Jika kita terburu-buru kembali ke kehidupan normal tanpa memberi ruang untuk adaptasi, tekanan bisa menjadi lebih besar. Mengintegrasikan elemen kecil yang menyenangkan dalam rutinitas, seperti membaca buku sebelum tidur atau menikmati secangkir kopi favorit di pagi hari, dapat membantu meredakan dampak perubahan drastis.

Menjaga koneksi sosial juga penting. Liburan sering kali mempertemukan kita dengan orang-orang terkasih, dan ketiadaan interaksi ini setelahnya bisa terasa menyedihkan. Oleh karena itu, tetap menjaga komunikasi, bahkan dalam bentuk sederhana seperti pesan singkat atau pertemuan kecil, bisa membantu mengurangi rasa kesepian. Setidaknya, jika harus kembali bekerja, kita masih bisa berbagi penderitaan dengan rekan kerja yang juga mengalami "hangover emosional" pasca-liburan.

Di samping itu, mengarahkan energi pada sesuatu yang baru dapat memberikan dorongan motivasi. Membuat resolusi kecil, memulai proyek pribadi, atau belajar keterampilan baru bisa menjadi cara untuk tetap memiliki sesuatu yang dinantikan. Ini bukan soal resolusi besar yang muluk-muluk, tetapi menemukan hal kecil yang memberi rasa pencapaian dan makna.

Dalam konteks sosial yang lebih luas, post-holiday blues juga mencerminkan dinamika masyarakat modern yang menempatkan kebahagiaan pada momen-momen tertentu, sementara keseharian sering kali dibiarkan terasa hambar. Kita diajarkan untuk merayakan hal-hal besar, tetapi jarang diajarkan untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Padahal, makna sejati mungkin bukan terletak pada perayaan megah, melainkan dalam keberlanjutan dan keseimbangan hidup sehari-hari.

Jika rasa sedih pasca-liburan terasa terlalu intens atau berkepanjangan, mencari bantuan dari teman, keluarga, atau profesional bisa menjadi langkah bijak. Kesehatan mental adalah bagian dari kesejahteraan yang tak boleh diabaikan. Bagaimanapun, hidup tidak hanya tentang puncak-puncak euforia, tetapi juga tentang bagaimana kita mengelola lembah-lembah ketenangan yang mengikutinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline