Lihat ke Halaman Asli

Hilman I.N

Pegawai Negeri

Pelajaran dari Perang Dunia II: Antara Keangkuhan dan Kehancuran

Diperbarui: 23 Januari 2025   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: https://www.history.com/news/world-war-ii-iconic-photos 

Saat dunia modern berbicara tentang Perang Dunia II, ia sering kali dipahami sebagai babak besar sejarah manusia yang penuh dengan tragedi dan keberanian. Namun, di balik kronologi peristiwa yang sering diceritakan, tersembunyi narasi yang lebih dalam , kisah tentang keangkuhan, kolaborasi, dan kompleksitas manusia dalam menghadapi kehancuran global.

Ketika perang berkobar pada tahun 1939, ia bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Perang ini merupakan hasil dari dekade ketegangan ideologis, politis, dan ekonomi. Blok-blok kekuatan yang bertarung bukan hanya sekadar negara-negara dengan ambisi teritorial, melainkan juga simbol dari tiga ideologi besar yang bersaing: liberalisme Barat, komunisme Soviet, dan fasisme yang diusung oleh Jerman dan Italia. Ketiganya membentuk sebuah segitiga konflik, di mana setiap sudutnya memiliki agenda yang berakar dalam sejarah panjang peradaban manusia.

Blok fasis, dipimpin oleh Jerman di bawah Adolf Hitler, tumbuh dengan narasi balas dendam atas penghinaan Perjanjian Versailles setelah Perang Dunia I. Namun, rekan fasis mereka, Italia, sering kali menunjukkan kelemahan yang menghambat ambisi Poros secara keseluruhan. Italia, di bawah kepemimpinan Benito Mussolini, gagal membuktikan dirinya sebagai kekuatan militer yang signifikan. Upaya invasi Italia ke Yunani pada tahun 1940 menjadi bencana besar, di mana pasukan Italia yang kurang persiapan dan moralnya rendah dikalahkan oleh tentara Yunani yang lebih kecil namun gigih. Bahkan setelah mendapatkan dukungan dari Jerman untuk menstabilkan situasi, reputasi militer Italia terus menurun. Di sisi lain, Uni Soviet dengan komunismenya melihat momen ini sebagai peluang untuk memperluas pengaruh ideologinya ke Eropa Timur dan Asia. Sementara itu, blok liberal, yang terdiri dari negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, mengklaim diri sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi di tengah ancaman kekuatan totalitarian. Dalam tarik-menarik ini, perang menjadi panggung untuk menampilkan kekuatan militer dan pengaruh politik masing-masing pihak.

Namun, apa yang membuat perang ini begitu memikat sekaligus memilukan adalah bagaimana ia dimulai bukan dengan satu ledakan besar, melainkan dengan serangkaian "pertandingan pramusim" , konflik-konflik kecil yang menjadi ajang uji coba bagi kekuatan besar dunia. Di Ethiopia, misalnya, invasi Italia pada tahun 1935 menjadi demonstrasi ambisi imperialisme fasis, meskipun dipenuhi dengan kekejaman dan kegagalan logistik. Perang ini menunjukkan bagaimana fasisme mencoba memantapkan kekuasaannya di panggung global, meski hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Sementara itu, di Spanyol, Perang Saudara yang berlangsung dari 1936 hingga 1939 menjadi arena percobaan besar-besaran bagi teknologi militer baru. Tank-tank modern, senjata berat, dan strategi udara diuji oleh fasis Jerman dan Italia di satu sisi, melawan dukungan Uni Soviet bagi kaum republik di sisi lain. Spanyol berubah menjadi laboratorium perang di mana kekuatan-kekuatan besar mengasah kemampuan mereka untuk konflik yang lebih besar. Di Asia, Jepang melancarkan invasi ke Tiongkok pada 1937, yang tidak hanya memperlihatkan ambisi Jepang untuk menguasai Asia Timur, tetapi juga menggarisbawahi kebutuhan mereka akan sumber daya alam seperti minyak dan logam. Serangkaian konflik ini memperjelas bagaimana perang besar yang akan datang adalah hasil dari eksperimen militer dan diplomatik yang gagal menghentikan ambisi kekuatan-kekuatan dunia.

Keberanian Jepang untuk melawan kekuatan-kekuatan besar di Asia didorong oleh keyakinannya atas superioritas militer dan budaya. Namun, di balik itu semua, ada ambisi yang lebih pragmatis: kebutuhan untuk mendapatkan sumber daya alam, terutama minyak dan logam, yang diperlukan untuk menopang industrinya. Serangan ini, yang kemudian meluas hingga ke Manchuria dan Mongolia, menandai babak baru dalam eskalasi perang.

Pada tahun 1939, strategi manipulasi dan propaganda mencapai puncaknya ketika Jerman melancarkan serangan terhadap Polandia. Dengan memalsukan serangan oleh tentara Polandia, Jerman menciptakan dalih untuk meluncurkan invasi yang dikenal dengan strategi "blitzkrieg" atau serangan kilat. Dalam waktu singkat, Polandia jatuh, dan dunia menyaksikan bagaimana teknologi perang modern , tank, artileri, dan pesawat tempur , mampu menghancurkan garis pertahanan tradisional. Namun, yang lebih mencengangkan adalah perjanjian rahasia antara Jerman dan Uni Soviet untuk membagi Polandia menjadi dua. Perjanjian ini menunjukkan betapa cairnya loyalitas di tengah ambisi kekuasaan.

Di sisi lain, blok liberal tampak terkejut dan terpecah oleh gerakan cepat Jerman. Inggris dan Prancis, yang masih dihantui trauma Perang Dunia I, ragu untuk bertindak dengan tegas. Mereka memblokade ekonomi Jerman, berharap dapat melumpuhkannya secara perlahan. Namun, di bawah kepemimpinan Hitler, Jerman telah dipersiapkan untuk menghadapi tekanan semacam itu dengan cara yang mengesankan. Hitler memobilisasi seluruh potensi bangsa, mulai dari propaganda untuk membangun semangat nasionalisme, hingga restrukturisasi ekonomi yang menekankan kemandirian industri. Dengan ketegasan dan karisma yang menciptakan loyalitas kuat di antara rakyatnya, ia memanfaatkan sumber daya yang direbut dari Polandia dan negara-negara lain untuk memperkuat logistik perang dan melanjutkan ekspansinya ke Eropa Barat.

Saat Jerman meluncurkan serangan ke Denmark, Norwegia, Belgia, Belanda, dan akhirnya Prancis, dunia sekali lagi melihat kehebatan strategi blitzkrieg , sebuah pendekatan yang mengombinasikan kecepatan, kejutan, dan kekuatan senjata yang terkoordinasi dengan luar biasa. Tank-tank Panzer Jerman melaju dengan kecepatan yang memukau, didukung oleh pesawat tempur Luftwaffe yang menghancurkan garis belakang musuh, menciptakan kekacauan dan ketidakmampuan untuk merespons secara efektif. Pasukan Jerman yang terlatih disiplin memanfaatkan komunikasi radio canggih untuk mengoordinasikan serangan, memastikan setiap unit bergerak seperti bagian dari mesin perang yang sempurna. Dalam waktu lima minggu, Prancis, yang sebelumnya menjadi simbol kekuatan kolonial dunia, jatuh tanpa daya di bawah tekanan ini. Keberhasilan itu tidak hanya mencerminkan kekuatan militer Jerman, tetapi juga ketepatan strategi yang dirancang untuk membuat musuh kehilangan keseimbangan sejak awal. Hitler, dengan penuh kemenangan, berfoto di depan Menara Eiffel, menegaskan supremasi baru Jerman sekaligus penghinaan yang mendalam terhadap negara-negara Barat.

Namun, ketika Jerman mencoba mengalahkan Inggris, perang memasuki babak baru. Perang udara yang terjadi di langit London dan kota-kota lainnya menguji ketahanan rakyat Inggris dan kecanggihan teknologi yang mereka miliki. Royal Air Force (RAF), meskipun memiliki jumlah pesawat dan pilot yang jauh lebih kecil dibandingkan Luftwaffe, berhasil menahan gempuran musuh dengan keberanian yang patut diacungi jempol. RAF didukung oleh inovasi strategis seperti radar, sebuah teknologi yang saat itu masih baru namun sangat efektif. Radar memungkinkan Inggris untuk mendeteksi serangan udara Jerman dari kejauhan, memberi waktu bagi RAF untuk bersiap dan menghadang armada Luftwaffe sebelum mereka mencapai target. Di tengah situasi ini, Raja George VI, yang memiliki keterbatasan berbicara, menjadi simbol ketenangan dan keteguhan. Meskipun tidak sefasih Hitler dalam berbicara di depan umum, pidato-pidatonya yang penuh ketulusan memberikan harapan dan keberanian bagi rakyat Inggris. Selain itu, semangat rakyat Inggris yang tetap teguh meski dihujani bom, serta kemampuan pilot RAF yang luar biasa dalam bermanuver di udara, menjadikan pertempuran ini lebih dari sekadar pertarungan kekuatan; ia menjadi simbol keberanian dan ketahanan bangsa di tengah ancaman kehancuran total.

Di Pasifik, Jepang meraih kemenangan spektakuler yang mengejutkan dunia. Setelah serangan Pearl Harbor, mereka dengan cepat menguasai wilayah strategis, menginvasi Filipina, Singapura, Hong Kong, dan Indonesia dalam waktu singkat. Armada Jepang bergerak dengan kecepatan dan presisi yang menakjubkan, menduduki wilayah seluas 4.4 juta kilometer persegi dalam beberapa bulan. Mereka menguasai sumber daya vital seperti tambang timah, ladang karet, dan cadangan minyak yang sangat dibutuhkan untuk mendukung mesin perang mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline