Ketika debu Perang Dunia I mulai mengendap, dunia seolah bernafas lega, tetapi kenyataan yang lebih gelap tengah membayang di cakrawala. Dampak dari perang besar itu jauh melampaui pertempuran militer; ia menanam benih kebencian, dendam, dan kehancuran yang kelak memicu konflik global berikutnya. Perjanjian Versailles, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I, membawa lebih banyak kehinaan daripada perdamaian bagi Jerman, menciptakan landasan subur bagi radikalisme dan kebangkitan sosok seperti Adolf Hitler.
Setelah kekalahan mereka, Jerman dipaksa menyerahkan wilayah strategis seperti Alsace-Lorraine kepada Prancis, sebagian wilayah timur kepada Polandia, dan koloni-koloni seberang lautnya kepada kekuatan pemenang. Tambang batu bara dan sumber daya vital lainnya jatuh ke tangan negara-negara asing, memaksa Jerman untuk mengandalkan reparasi yang melumpuhkan ekonominya. Inflasi melambung tinggi, menyapu tabungan rakyat biasa, sementara pengangguran meluas dan rakyat Jerman merasakan kehancuran martabat mereka.
Di tengah krisis ini, Adolf Hitler muncul sebagai sosok kontroversial yang menjanjikan kebangkitan. Wibawanya sebagai pemimpin didasarkan pada kemampuannya memanfaatkan emosi rakyat yang terluka oleh penghinaan Perjanjian Versailles. Sebagai seorang veteran Perang Dunia I yang mengalami kekalahan secara langsung, Hitler berbicara dengan otoritas emosional yang menyentuh pengalaman kolektif rakyat Jerman. Dengan suara tegas dan pidato yang membakar semangat, ia mampu menghipnotis audiensnya, menanamkan keyakinan bahwa Jerman dapat kembali menjadi kekuatan besar. Setelah perang, Hitler menjalani kehidupan yang penuh perjuangan sebagai seniman gagal di Wina, tetapi kegagalan ini tidak mematahkan ambisinya. Sebaliknya, ia menemukan jalan baru melalui kerja sebagai informan bagi militer Jerman, yang akhirnya mempertemukannya dengan Partai Pekerja Jerman (cikal bakal Partai Nazi). Di dalam partai ini, karisma Hitler bersinar, mengubahnya dari seorang anggota biasa menjadi pemimpin yang dielu-elukan sebagai penyelamat bangsa.
Dengan cerdik, Hitler memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap Perjanjian Versailles dan memperkuat propaganda yang menyalahkan Yahudi, komunis, dan "pengkhianat internal" atas kekalahan Jerman. Ia menawarkan visi kebangkitan nasional yang kuat, menjanjikan pemulihan ekonomi melalui program kerja besar-besaran, pembangunan kembali angkatan bersenjata, dan penghapusan dampak Perjanjian Versailles. Namun, perjalanan Hitler menuju kekuasaan tidak tanpa hambatan. Pada tahun 1923, Hitler memimpin kudeta gagal yang dikenal sebagai "Beer Hall Putsch" di Munich, yang menyebabkan dirinya dipenjara. Selama masa tahanannya, Hitler menulis buku "Mein Kampf," yang merinci ideologinya dan visinya untuk masa depan Jerman. Buku ini menjadi manifesto politik yang memperkuat posisinya di kalangan pendukung Nazi.
Setelah dibebaskan lebih awal pada tahun 1924, Hitler mulai membangun kembali Partai Nazi dengan strategi yang lebih hati-hati. Ia memanfaatkan krisis ekonomi global akibat Depresi Besar untuk menarik dukungan luas dari rakyat Jerman yang frustasi. Dengan janji stabilitas, pekerjaan, dan kebangkitan nasional, Hitler berhasil memenangkan hati masyarakat dan akhirnya diangkat sebagai Kanselir Jerman pada tahun 1933. Setelah berkuasa, ia mengubah Jerman menjadi negara otoriter melalui serangkaian undang-undang darurat, membubarkan oposisi, dan mengonsolidasikan kekuasaan di tangannya. Dalam beberapa tahun, Hitler membangun kembali angkatan bersenjata Jerman secara diam-diam, mengembangkan industri perang dengan skala besar, dan memperkenalkan program-program publik seperti pembangunan Autobahn untuk mendukung ekonomi. Langkah-langkah ini tidak hanya mengembalikan kekuatan militer Jerman tetapi juga mengubahnya menjadi kekuatan ekonomi yang dominan di Eropa, mempersiapkan negara itu untuk ambisi teritorial yang lebih besar dan konflik global yang akan datang.
Namun, Eropa bukanlah satu-satunya arena persiapan untuk perang yang lebih besar. Jauh di Timur, Jepang, yang merasa dipinggirkan oleh kekuatan Barat dalam Konferensi Paris, mulai memupuk ambisi imperialis. Konferensi Paris, yang diadakan pada tahun 1919 untuk menetapkan perjanjian damai setelah Perang Dunia I, dihadiri oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Meskipun Jepang termasuk dalam pihak pemenang perang dan berkontribusi signifikan di Asia Pasifik, mereka merasa diabaikan dalam pembagian wilayah dan pengakuan internasional. Jepang hanya mendapatkan beberapa wilayah bekas Jerman di Pasifik dan Tiongkok, yang dianggap tidak sebanding dengan kontribusi mereka. Penghinaan ini memperkuat keyakinan Jepang bahwa mereka harus menempuh jalan sendiri, termasuk menjadi kekuatan penjajah untuk memenuhi kebutuhan sumber daya dan pengakuan global.
Selain itu, Jepang mengalami keterbatasan sumber daya alam yang sangat krusial untuk menopang industrialisasi dan modernisasi militernya. Ketika negara-negara Barat seperti Amerika Serikat menerapkan embargo minyak dan bahan mentah lainnya pada Jepang sebagai respons terhadap agresi mereka di Asia Timur, Jepang merasa terpojok. Situasi ini memicu keputusan Jepang untuk menyerang Sekutu, dengan harapan dapat merebut wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Indonesia, Malaya, dan Filipina. Jepang percaya bahwa hanya melalui penguasaan wilayah strategis ini, mereka dapat mempertahankan kemandirian ekonominya dan mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan besar. Keputusan ini akhirnya membawa Jepang ke dalam konflik langsung dengan kekuatan Sekutu, menandai eskalasi besar dalam Perang Dunia II.
Jepang memulai industrialisasi dengan sangat cepat, dibantu oleh teknologi dan pelatihan dari Barat. Mereka membangun angkatan laut yang kuat dengan bantuan Inggris dan memperkuat angkatan udara mereka. Namun, untuk mendukung kebutuhan industri dan militer yang terus berkembang, Jepang membutuhkan sumber daya alam yang lebih besar. Mereka mengalihkan pandangan ke Asia Timur dan Pasifik, yang dipenuhi oleh koloni-koloni kekuatan Barat. Ketika Jepang mulai menguasai wilayah seperti Manchuria dan mempersiapkan invasi ke Tiongkok, dunia mulai melihat tanda-tanda agresi yang lebih besar.
Sementara itu, Italia, yang merasa dikhianati oleh janji-janji kosong Sekutu setelah Perang Dunia I, juga mencari jalannya sendiri menuju kejayaan. Fasisme, di bawah Benito Mussolini, menjadi ideologi yang dominan. Mussolini berasal dari latar belakang yang sederhana sebagai seorang mantan jurnalis dan aktivis politik sosialis. Namun, dengan perubahan ideologinya ke arah nasionalisme ekstrem, ia membentuk gerakan Fasis pada tahun 1919 yang memadukan retorika populis dan kekerasan politik. Dalam konteks Italia pasca perang, negara ini menghadapi kekacauan ekonomi, pengangguran massal, dan ketidakstabilan politik yang mendalam. Pemerintah Italia yang lemah tidak mampu memenuhi janji-janji kemenangan setelah perang, seperti penguasaan wilayah-wilayah baru yang dijanjikan oleh Sekutu.
Mussolini memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kekalahan moral dan situasi politik yang kacau untuk mengambil alih kekuasaan. Dengan retorika yang memadukan nostalgia Kekaisaran Romawi dan ambisi untuk menjadikan Laut Mediterania sebagai "kolam Romawi" kembali, ia berhasil menggalang dukungan melalui janji stabilitas dan kebangkitan nasional. Pada tahun 1922, Mussolini memimpin "Mars ke Roma," sebuah demonstrasi kekuatan yang memaksakan Raja Victor Emmanuel III untuk menunjuknya sebagai Perdana Menteri. Setelah berkuasa, ia mengonsolidasikan kekuatannya melalui kebijakan otoriter dan propaganda yang mengagungkan dirinya sebagai "Il Duce."