Dari Abdullah bin Mas'ud -raiyallhu 'anhu- dari Nabi -allallhu 'alaihi wa sallam-, beliau bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar biji sawi." Seorang lelaki bertanya, "Sesungguhnya ada orang yang senang jika pakaiannya bagus dan sandalnya pun bagus." Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia." Riwayat Imam Muslim
Di tengah gemerlapnya dunia, tersembunyi sebuah kisah kelam yang sering terlupakan oleh keangkuhan manusia: kisah tentang bahayanya menjadi terlalu sombong. Somewhere in the fabric of existence, ada paragraf yang menyusun tragedi manusia yang terjebak dalam belenggu kesombongan, merasa mampu melampaui segala cobaan dan hukum-hukum yang telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Mereka menyesatkan diri dalam keyakinan bahwa kekuatan diri mereka adalah yang utama. Mereka lupa bahwa langit masih menggantungkan hukuman atas kesalahan.
Ada satu cerita tentang seorang pemuda, berselimutkan lapisan kebanggaan yang tebal, yang menganggap dirinya di atas segala sesuatu. Ia melangkah dengan langkah pasti, yakin bahwa ia adalah pemegang kendali atas takdirnya sendiri. Kegagalan dan kesulitan, menurutnya, hanya ujian kosong yang bisa dengan mudah diatasi dengan kekuatan diri dan kebijaksanaannya sendiri.
Namun, ironisnya, dalam ilusi kehebatannya itu, ia melupakan hukum-hukum yang lebih tinggi, hukum-hukum yang tidak tergoyahkan, hukum-hukum yang mengatur roda kehidupan. Ia meremehkan aturan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta, menganggapnya sebagai batasan yang tak perlu diindahkan. Baginya, hukum Tuhan terasa sebagai belenggu, batasan yang menghambat ambisinya yang tak terbatas. Dia katakan, hukum Tuhan terlalu bikin ribet. Kalaupu mengakui Tuhan, dia katakan bahwa Tuhan dia begitu penyanyang sementara Tuhannya mereka begitu jelimet aturannya dan tidak bisa kompromi.
Pada akhirnya, setiap langkahnya yang diatur oleh kebanggaan itu membawanya kepada kehancuran. Setiap langkah yang ia ambil, seperti melangkah di atas jurang yang dalam, dan semakin jauh ia merangkak, semakin dalam ia terperosok.
Kehancuran datang, tak terduga namun pasti. Dalam kilas, segala yang ia bangun hancur berkeping-keping. Kekuatan yang ia kira tak tertandingi menjadi sia-sia di hadapan kekuatan alam yang jauh lebih besar. Ketika ia jatuh, ia menyadari betapa remehnya ia di hadapan keagungan Sang Pencipta.
Saat-saat pahit itu menjadi cermin bagi kita semua. Kita, sebagai manusia, sering kali terperangkap dalam jaringan kesombongan yang rapuh. Kita merasa mampu mengendalikan segala sesuatu, lupa bahwa kita hanya butiran pasir di tangan Sang Pencipta.
Sesungguhnya, perjalanan manusia dalam menghadapi kesombongan mengandung pelajaran berharga dari kisah-kisah yang telah terukir dalam sejarah agama. Dalam perbandingan antara Iblis dan Nabi Adam, kita menemukan gambaran yang jelas tentang bahaya kesombongan dan kekuatan kerendahan hati.
Iblis, yang pada awalnya adalah malaikat yang mulia, terjerumus ke jurang kebinasaan karena sikap bangga diri yang melampaui batas. Ketika Allah SWT menciptakan Adam, Iblis menolak untuk tunduk kepada manusia, merasa bahwa ia lebih mulia dan lebih baik daripada ciptaan-Nya yang baru itu, dengan mengatakan "saya lebih baik daripadanya (Adam)". Ternyata sikap ujubnya telah membawanya jauh dari rahmat Tuhan dan menyebabkan kejatuhan yang tak terhindarkan.
Di sisi lain, Nabi Adam memperoleh keutamaan yang luar biasa melalui kerendahan hatinya. Setelah ia melakukan kesalahan dengan mendengarkan bisikan setan, ia tidak menyembunyikan kesalahan atau mencoba membenarkan tindakannya. Sebaliknya, ia dengan rendah hati mengakui kesalahannya di hadapan Allah SWT, dengan kata-kata yang penuh penghormatan, "Wahai Rabb kami, kami telah zalim terhadap diri kami sendiri." Pengakuan ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru merupakan bukti kebesaran hati yang menghargai kebenaran dan mengakui kekurangan diri.