Tradisi tahlilan mungkin sudah lazim di dengar pada kehidupan sehari-hari. Jika ada yang berduka kehilangan sanak saudara, biasanya tuan rumah akan mengadakan tahlilan untuk penghormatan terakhir kepada sang roh. Menurut KBBI, tahlilan merupakan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi orang yang sudah meninggal. Tradisi ini sangat melekat pada masyarakat Indonesia pada umumnya hingga saat sekarang ini.
Tahlilan di sini biasanya sangat kental dengan unsur-unsur mistis, seperti kepercayaan sebagian masyarakat yang meyakini jika di panjatkan doa-doa dan ayat-ayat suci Al-Quran konon roh yang sudah meninggal akan merasa tentram dan damai serta penggunaan kemenyan yang di percayai bisa mengundang malaikat untuk mendoakan arwah yang sudah meninggal.
Pada umumnya tradisi tahlilan ini di selenggarakan berbeda-beda setiap daerahnya. Bahkan dalam satu ibukota ataupun daerah, penyelenggaraan tahlilan ini di selenggarakan berbeda-beda.
Pada Kecamatan Tanjung Gadang khususnya. Tanjung Gadang merupakan nagari yang di lewati oleh Bukit Barisan yang berada di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatra Barat. Mayoritas masyarakat di Kecamatan ini memeluk agama Islam, sehingga berbagai budaya sangat kental dengan ke-Islamannya. tradisi tahlilan di sini adakan sebanyak tiga gelombang, yaitu tahlilan tujuh hari, tahlilan hari empat puluh, dan tahlilan hari seratus.
Pada tahlilan tujuh hari, tahlilan hari pertama di selenggarakan setelah pemakaman sang mayat, tahlilan selanjutnya yaitu enam hari berturut-turut yang di adakan pada rumah duka yang di laksanakan sesudag shalat Magrib.
Sebelum tahlilan di mulai biasanya akan di umumkan berbagai hal yang di tinggalkan mendiang dari anak-anaknya sampai kepada harta dan hutang-piutangnya serta nama-nama alim ulama yang akan memimpin tahlilan hari keenam dan seterusnya sampai pada tahlilan hari seratus.
Pada tahlilah tujuh hari dan tahlilan hari empat puluh sampai seratus akan di adakan pembacaan doa-doa dan ayat-ayat Al-Quran seperti pada tahlilan pada umumnya.
Namun, pada sebagian daerah di Sumatra Barat, pada awal rangkaian acara tahlilan akan di mulai dengan "sambuik manyambuik kecek". Dimana biasanya "niniak mamak" atau alim ulama yang sudah di tentukan akan bertanya atau menyimpulkan dan di jawab atau di tanggapi oleh "sumando" atau orang rumah laki-laki.
Pada pembukaan ini biasanya "niniak mamak" atau alim ulama menggunakan bahasa kiasan Minangkabau dalam menyampaikan rasa duka atas kehilangan mendiang dan rasa syukurnya atas kehadiran hadirin tahlilan. Pada tahlilan empat puluh hari dan seratus hari, pihak tuan rumah biasanya akan mengadakan tahlilan hari empat puluh setelah tahlilan tujuh hari dan tahlilan hari seratus setelah tahlilan hari empat puluh. Sedangkan pada tahlilan hari empat puluh dan hari seratus hanya di adakan satu kali tahlilan saja.
Biasanya tuan rumah akan mengadakan pada hari ke-empat puluh atau hari ke-seratus. Namun beberapa orang ada yang mengadakan lebih cepat dalam masa empat pulu hari dan masa seratus hari tersebut.
Pada tahlilan hari empat puluh dan hari seratus ini biasanya di adakan setelah shalat Isya', karena memakan waktu yang cukup lama dari pada tahlilan tujuh hari. Pada tahlilan hari empat puluh dan hari seratus ini para sumando di beri tugas satu atau dua hari sebelum hari tahlilan oleh mamak untuk mengundang para pemuka adat, mamak-mamak, dan alim ulama untuk menghadiri tahlilan hari empat puluh ataupun hari seratus.
Tuan rumah biasanya menghidangkan snack untuk hadirin yang mengikuti tahlilan tujuh hari, snack ini biasanya di hidangkan dalam piring-piring yang sudah di bagi oleh hadirin perempuan dan kemudian di sebar letakkan oleh para sumando dan pada hari ketujuh tuan rumah juga akan membagikan bingkisan yang berisi kopi, gula, dan mie kepada hadirin yang telah hadir.