Lihat ke Halaman Asli

Premanisme Terkait Problem Mental

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Belakangan ini aksi-aksi premanisme ramai diperbincangkan orang terkait pemberitaan berbagai media tentang aksi perampokan, pemerasan, penculikan, pembunuhan bahkan sampai penjualan obat-obatan terlarang.  Sudah barang tentu hal ini membuat masyarakat resah dan menjadi pekerjaan bagi penegak hukum guna memberantasnya. Lalu apa sebetulnya yang melatarbelakangi maraknya aksi premanisme di Indonesia? Tekanan ekonomi yang terus menghimpit, kurangnya lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan? Alasan klasik yang menjadi akar banyak permasalahan sosial di negara ini dan masih belum bisa teratasi hingga sekarang. Mayoritas pelaku aksi premanisme terjadi pada segmen usia produktif. Tuntutan atas terpenuhinya kebutuhan hidup yang semakin kompleks menjadi alasan kuat bagi mereka untuk menjadi seorang ‘preman’. Bagaimana tidak? Tanpa harus sekolah tinggi, hanya bermodal muka sangar dan badan berotot, pekerjaan ini seolah menjanjikan untuk menghasilkan cukup banyak uang.

Namun, permasalahan ekonomi atau kurangnya lahan pekerjaan tidak melulu dapat dikambinghitamkan atas maraknya aksi premanisme belakangan ini. Belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental masyarakat disinyalir menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi atas permasalahan sosial yang terjadi. Pola pikir yang hanya berorientasi pada hasil yang akhirnya menjadikan mereka seakan ‘menghalalkan’ berbagai cara untuk dapat menghasilkan uang, kasarnya menjadi preman lebih terhormat ketimbang menjadi petugas kebersihan jalan. Pola pikir yang jelas menyimpang dan perlu penanganan segera dari semua pihak.

Untuk itu, diperlukan kerja sama yang sinergis serta pola penyelesaian masalah yang komprehensif tidak hanya dari aparat hukum namun juga dari kementrian-kementrian terkait atau bila mungkin dapat menggandeng lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan untuk turut serta menyelesaikan permasalahan premanisme ini. Karena pengananan permasalahan premanisme ini tidak cukup hanya dengan proses hukum, namun harus melibatkan institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental. Jika memang para pemuda tersebut suka berkelahi, suruh saja mereka menjadi petinju. Itu lebih halal dan bisa menghasilkan uang juga.

Noer Widyanti Nurdin

Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline