Lihat ke Halaman Asli

Noenky Nurhayati

TERVERIFIKASI

Kepala sekolah, Pendongeng, Guru Dan trainer guru

Dilema Kelas Menengah: Jalan di Tempat untuk Merangkak Kaya

Diperbarui: 5 Maret 2024   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NOENKY PRIBADI

Dilansir dari Harian Kompas, ada sekitar 126 juta orang di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok kelas menengah atau calon kelas menengah. Mereka ini adalah kelompok orang-orang yang harus bertahan dengan sedikit pendapatan yang diperolehnya baik itu secara bulanan maupun mingguan. Gaji yang didapat setiap bulan nyaris habis pada bulan yang sama. Hampir tidak bersisa untuk tabungan dan membeli barang mewah yang diharapkan sebagai investasi maupun simpanan. 

Masih dari Harian Kompas, bahwa kelas menengah dianggap sebagai kelompok yang susah dan kaya, sedangkan calon menengah dianggap sebagai kelompok yang rentan miskin. Sangat menyedihkan bahwa kelompok-kelompok ini terperangkap dalam kelas sosial yang sama dan sulit untuk "memanjat". Oleh karena itu, mereka ini di sebut juga dengan istilah "trap pendapatan tengah". Pada akhirnya, kelompok kelas menengah adalah kelompok yang paling rentan ketika ekonomi melambat: yakni pada saat harga naik tetapi gaji tidak. Selain itu mereka juga tidak terdaftar dalam data ataupun daftar penerima bantuan sosial pemerintah. Mereka harus berusaha sendiri memenuhi kehidupan hariannya dengan cara berhemat ataupun mencari pendapatan tambahan dalam berbagai sektor. 

Sepertinya penulis juga masuk dalam kelompok ini. Kelompok kelas menengah yang jika dianggap kehidupannya sulit tetapi ya tidak sulit-sulit amat karena masih bisa membeli beras. Mengharap dapat bantuan dana bansos sepertinya tidak akan masuk kategori. Padahal jika diberi bantuan beras ataupun bahan pokok lainnya tentu tidak akan pernah menolak. Karena dalam keseharian ya tetap harus dapat menghemat supaya bisa tetap sampai ke waktu gajian di bulan berikutnya. 

Tidak hanya tidak dapat dianggap kaya, kelas menengah juga tidak berarti miskin. Namun karena mereka tidak berhak atas dana bansos, mereka sering merasa di nomor duakan. Selain itu, karena masih memiliki banyak tetangga yang lebih membutuhkan terhadap dana bansos dan bantuan lainnya. Namun, kelompok menengah ini masih bisa membayar langganan wifi, membeli es kopi dua kali seminggu, dan membeli sepatu yang di inginkan. 

Meskipun itu harus dilakukan dengan menggunakan pay later misalnya. Sehingga ketika tiba pada masanya harus membayar, maka sikap untuk semakin mengencangkan ikat pinggang harus dilakukan. Namun, jika dianggap kaya, tentu tidak benar-benar kaya. Investasi besar-besaran dan kredit barang-barang seperti motor atau mobil justru akan semakin membuat bulan-bulan yang dijalani terasa seperti tahun tua. Apakah kalian juga sering mengalami hal seperti ini juga? Kalau iya, berarti welcome to the club. Kita berada di kelompok yang sama. 

Nah yang sangat menarik dari info yang ada sekarang adalah bahwa sisa gaji orang-orang yang tinggal di luar Pulau Jawa ternyata lebih tinggi daripada orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa. Apakah ini menunjukkan bahwa masalah ini juga dipengaruhi oleh perbedaan upah minimum daerah dan biaya hidup regional? Menurut saya sih tidak ya. Hal ini bisa jadi karena beberapa bahan pokok masih lebih murah dibanding dengan harga bahan pokok di kota-kota besar seperti sayuran, ikan, dan yang lainnya. Sebagian masyarakat di daerah yang bukan merupakan kota besar juga biasanya masih bisa bercocok tanam sendiri untuk memudahkan kehidupan harian mereka. 

Berbeda dengan kehidupan di kota besar yang lahan rumahnya sudah penuh dengan perumahan. Bagi orang-orang kelas menengah dan calon kelas menengah, mereka menjalani kehidupan apa adanya. Sehingga sangat wajar bahwa kelas menengah ini tidak tertarik dengan rencana keuangan. Karena jika harus menghitung dan mengalkulasi keuangan maka akan pusing sendiri dengan uang yang tidak pernah cukup alokasinya. Bagi orang-orang kelas menengah dan calon kelas menengah, mereka akan membayar apa yang memang harus dibayar. Alih-alih memiliki keahlian alokasi keuangan dan mendapati jumlah uang yang di luar perkiraan, maka jauh lebih baik dilakukan tindakan serba instan terhadap apa yang harus dibayar. Jika ada uangnya ya dibayar, jika belum ada ya penundaan pembayaran adalah pilihannya. 

Orang -orang kelas menengah dan calon kelas menengah biasanya juga rentan dengan pinjaman bank untuk menutupi defisit keuangan dan membayar biaya-biaya tidak terduga yang harus dibayar seperti masuk sekolah anak ataupun sakit. Dengan tambahan cicilan pinjaman ini, maka akan semakin sulit bagi orang-orang kelas menengah dan calon kelas menengah untuk bisa merangkak menjadi kaya. Karena artinya ada pos baru pengeluaran, sementara pemasukan belum tentu seimbang. 

Bagaimana dengan kompasioner disini? Apakah gaji yang diterima cukup untuk hidup? Apakah memiliki keinginan juga untuk segera mendapatkan pekerjaan sampingan? Apakah kehidupan di kota besar mempengaruhi pendapatan tidak seperti kehidupan di daerah atau kota kecil? Yuk berikan pendapat di kolom komentar ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline