Lihat ke Halaman Asli

Noenky Nurhayati

TERVERIFIKASI

Kepala sekolah, Pendongeng, Guru Dan trainer guru

Hukuman Mengalihkan Perhatian dari Konsekuensi yang Paling Berharga?

Diperbarui: 25 Maret 2023   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Anak-anak seringkali melakukan kesalahan baik yang sengaja maupun tidak disengaja untuk menarik perhatian orang-orang disekelilingnya ataupun sekedar menunjukkan keakuannya. Hampir 70% orang tua pastinya juga pernah melakukan pemberian hukuman baik itu verbal maupun fisik kepada anak dengan cara seperti mencubit ataupun memukul untuk memberikan efek jera pada anak.

Untuk Hukuman fisik apapun bentuknya para psikolog telah bersepakat untuk tidak menganjurkan diberikan. Mengapa? Karena tentu saja hukuman fisik bukanlah solusi terbaik bagi anak, mengingat juga hukuman fisik akan memiliki dampak yang membahayakan bagi anak hingga dewasa nanti.

Pada saat anak melakukan kesalahan, memang kadang suka membingungkan ya ayah-bunda untuk menerapkan hukuman yang tepat bagi mereka. Apalagi jika itu dilakukan oleh siswa yang ada di sekolah. Benar-benar perlu pertimbangan yang tepat dan intuisi yang baik untuk menilai kesalahan yang dibuat. 

Karena beda anak tentunya akan berbeda pula cara penerimaan yang mereka rasakan. Mengidentifkasi masalah yang telah dibuat oleh anak bisa menjadi langkah awal yang bisa kita lakukan untuk kemudian dapat kita jelaskan dampak apa yang terjadi dari perbuatan yang dibuatnya. Setelah kita dapat mengambil alih mood dan sikap anak, maka barulah kita dapat menyarankan perilaku dan perbuatan yang lebih baik.

Pada tulisan kali ini, yang ingin dibahas adalah pemberlakuan hukuman 'time out' dengan cara membawa ananda ke ruangan yang terbebas dari jangkauannya untuk mengalihkannya dari perbuatan salah yang telah ia lakukan.

Ketika seorang anak dipaksa untuk duduk atau pergi ke kamar mereka atau ruangan lain untuk "memikirkan apa yang telah mereka lakukan". Biasanya kita meminta mereka untuk duduk dan menenangkan diri mereka sendiri dan kita meninggalkan ruangan selama 1-2 menit yang disebut sebagai tahap refleksi. Lalu apakah yang mereka pikirkan ayah-bunda? 

Apakah Mereka lebih cenderung memikirkan betapa jahatnya orang dewasa itu?. Betapa sedihnya mereka melewatkan suatu kegiatan apabila saat itu anak sedang menikmati permainannya dikelas bersama anak-anak lain?. Betapa disalah pahami mereka. Bukan dampak dari tindakan mereka, penyesalan mereka, atau cara perbaikannya.

Apakah mereka tidak nyaman? YA. Tentu saja ya ayah-bunda, karena pastinya tindakan ini memberi ruang bagi perasaannya yang tadinya bersama teman-temannya lalu dipisahkan. Tapi apakah itu intinya? Untuk membuat mereka senyaman mungkin sampai kita menganggap tingkat tidak nyamanan mereka sebagai pengulangan yang memuaskan atas pelanggaran mereka terhadap tindakan kita yang sewenang-wenang?

 Jika tujuan kita adalah untuk mengajarkan peraturan dan keterampilan, kita perlu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Bagi saya sebagai seorang guru saya lebih memilih untuk memperbanyak aturan didalam kelas sebelum melaksanakan setiap pembelejaran. Cobalah selalu untuk memulia dengan kalimat "aturannya adalah begini.... 1. Tidak boleh mendahulu, merebut dan menyela dan lain-lain". Saya selalu meminta mereka untuk mengulang-ngulang aturannya sebagai warning agar mereka bisa menghindari kesalahan yang mungkin akan dilakukan. 

Sehingga ketika terjadi sebuah kesalahan, mereka akan segera setuju dengan hukuman yang diminta untuk mereka laksanakan. Mengapa? Karena tentu saja Hukuman mengintensifkan stres, yang mematikan pusat pembelajaran otak di mana empati, pengambilan perspektif dan pemecahan masalah juga terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline