Lihat ke Halaman Asli

Yuni Astuti

Perawat, sedang belajar merawat hati anak dan keluarga

Anak Ayam Bertemu Induknya

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menulis sebenarnya sudah sejak kecil kita lakukan. ya..mulai sekolah Taman Kanak-Kanak kita belajar menulis huruf dan angka. Beranjak Sekolah Dasar, kita belajar menulis kata dan berusaha memahami maknanya. Susah memang...apalagi hingga membentuk kalimat. Membaca saja masih susah apalagi menulis. Itu dulu,  pengalaman saya ketika masih imut he..he..

Setelah dirasa bisa membaca dan menulis lancar, bapakku yang hanya seorang mantri alas , seorang pegawai rendahan yang tugasnya menjaga hutan, mengenalkan aku dengan mesin ketik. Masih kuingat betapa nggumun dan hebohnya diriku ketika huruf demi hurunf kupencet. Dan....thing..!  Suara itu selalu terdengar ketika batas margin tulisan sudah sampai batas akhir .

Seneng yang luar biasa waktu itu, seperti dapat mainan baru..! Meskipun aku tidak mengetik kata ataupun kalimat, apalagi artikel..! Yang kulakukan hanyalah asal pencet-pencet huruf, yang tak jelas menjadi kata ataupun kalimat.

Kelas 4 SD aku diajarkan menulis cerita yang mungkin hanya satu paragraf saja, untuk selanjutnya dikirimkan ke sebuah majalah mingguan. Waktu itu bapakku berlangganan majalah berbahasa Jawa  Jaya Baya dan Panyebar Semangat. Dan bapakku sering mengirimkan cerita pendek, dan sudah lumayan sering dimuat dalam majalah tersebut.

O, iya..ketika kelas 5 SD saya pernah diikutkan lomba mengarang, karena dianggap tulisan saya agak lumayan...

Harusnya, aku sudah menjadi penulis terkenal atau paling tidak profesiku sebagai jurnalis. Harusnya....!! Tapi ilmu menulis yang diajarkan kepadaku hanya terbatas sampai saya lulus SD saja. Karena rumah dinas bapak yang selalu di tengah hutan, ya...karena aku orangutan, sekolah di tingkat SMP saja saya harus nge-kost. Sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk belajar menulis. Sehingga ilmu menulisku terputus begitu saja, padahal sebenarnya aku sudah mulai jatuh cinta dengan menulis.

Saat kuliah Diploma III, saya mencoba menulis lagi. Bukan karena tugas kuliah ataupun jurusan kuliah yang mengajakku menulis. Tapi sekedar menumpahkan rasa kangen yang sudah sekian lama terputus. Wah.., betapa senengnya ketika tulisanku nampang di sebuah rubrik remaja.Sekali itu saja, dan aku tidak berusaha belajar menulis lagi, sayang ya....?

Yang paling melekat dalam ingatanku sampai sekarang adalah pesan bapak ketika saya masih belajar menulis. " Nik, nulis itu gak usah dipikir. Tulislah apa yang pengin kamu tulis"

Akupun gak tahu, apakah yang disampaikan itu ilmu menulis yang bener atau salah. Bapakku bukan seorang jurnalis, apalagi penulis terkenal. Yang kutahu, bapak sangat hobi menulis. Sampai-sampai punya catatan tentang pengeluaran uang mulai saya masuk kuliah sampai lulus. Semua dicatatnya dengan rinci, termasuk misalnya bapak ke Semarang main ke kost aku dan beli minum. Harga es satu gelaspun dicatatnya. Weleh...weleh...!

Ketika bertemu dengan Kompasiana di akhir tahun 2013. Hati ini suuuenengnya bukan kepalang...! Lha piye...? Lha gak usah repot-repot cetak naskah, gak usah kirim lewat pos, gak butuh perangko, gak ada edit-editan juga..., tinggal tul.....! naskah langsung bisa tayang. Gak peduli apakah tulisanku layak baca atau tidak, layak tayang atau tidak, yang penting rasa kangenku tersalurkan.

Betul, ibarat anak  ayam yang tadinya kehilangan induk, kini sudah kutemukan kembali. Berpelukan.....!!! seandainya Kompasiana bisa kupeluk dan kudekap, pastilah tidak akan kulepaskan, Ceileee...!!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline