Lihat ke Halaman Asli

Tidak Memberi Berarti Anda Peduli

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memberi adalah hal sangat terpuji dan sangat positif. Dengan memberi berarti kita peduli terhadap sesama. Menilik kondisi masyarakat kita saat ini, diperlukan tangan-tangan yang rela memberi. Pada saat ini terjadi sebuah kesenjangan kesejahteraan yang begitu kentara, seakan terdapat jurang pemisah yang tak mungkin terseberangi antara kaya dan miskin. Tapi ternyata tak selamanya memberi itu positif, dan tak selamanya memberi itu adalah bentuk kepedualian kita terhadap sesama..mengapa demikian??

Di sebuah perempatan Antara Jln. Senopati, Jln. Brigjen Katamso dan Jln  Sultan Agung di Kota Jogja, terdapat sebuah iklan layanan masyakarat, saya tidak terlalu ingat bunyinya, hanya saja intinya adalah jika kita peduli maka kita tidak akan memberi.

Fenomena yang sekarang muncul di kota-kota besar adalah banyaknya kaum GEPENG alias gelandangan dan pengemis. Hampir di setiap perempatan jalan selalu ada kaum GEPENG. Mulai dari anak kecil sampai orang tua. Masing-masing mempunyai gaya dan cara yang khas untuk mendapatkan iba dari pengendara yang melintas. Ada pengemis yang benar-benar cacat, ada yang pura-pura cacat. Yang sering membuat miris adalah banyak dari  para GEPENG tersebut adalah anak-anak di bawah umur. Mereka “dipaksa” untuk mengamen, mengemis, atau hanya sekedar digendong. Jumlahnya pun semakin hari semakin bertambah.

Yang kemudian mengelitik perasaan kemanusiaan saya adalah bentuk eksploitasi terhadap anak-anak. Jika sejak kecil mereka sudah kehilangan haknya untuk menikmati kehidupan, bagaimana jika mereka besar nanti? akan menjadi seperti apakah mereka?? mengapa orang tuanya begitu tega memperlakukan anak mereka demikian??mengapa orang tua begitu tega untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai komoditas? jawabannya tak lain adalah karena tuntutan ekonomi. Namun demikian sungguh miris melihat kenyataan ini.

Pernah suatu ketika saya saya berbincang dengan seorang tukang tambal ban (Red. KEbetulan ban motor saya bocor, dan terpaksa harus mencari tukang tambal ban yang kebetulan berada dekat perempatan). Pak tua tukang tambal ban tadi berujar : “wah mas..mereka emang sudah lama jadi pengemis mas, tapi jangan salah lho, rumahnya bagus, tingkat mas. Motornya ada 2. Nah…itu, bahkan sekeluarga mereka memang sudah berprofesi jadi pengemis mas, dari mulai anak sampai menantu, nah itu malah cucunya pun dari kecil sudah diajari ngemis. Kalau cerita penghasilan mas, penghasilan mereka lumayan lho mas, bisa ngalahin gaji pegawai negeri golongan IIIA”

Kembali ke iklan layanan masyarakat tadi, kemudian saya berpikir bahwa memang benar bahwa dengan tidak memberi berarti kita peduli. Karena dengan memberi berarti kita membuat jumlah praktek eksploitasi anak-anak semakin subur, jumlah para GEPENG meningkat.

Lalu solusinya bagaimana??

Menurut saya, tidak hanya pemerintah saja yang punya kewajiban untuk menangani masalah ini. Tetapi juga merupakan tanggungjawab kita bersama. Akan lebih bijak jika donasi atau pemberian yang kita lakukan disalurkan ke saluran yang tepat, misalnya rumah singgah. Atau akan lebih baik lagi jika ada yang tertantang untuk membuat sebuah program yang bisa mengatasi masalah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline