Lihat ke Halaman Asli

Adhi Nugroho

Blogger | Author | Analyst

Jejak Karbon dan Transformasi Kolektif

Diperbarui: 1 Juli 2023   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayo rawat bumi dengan mengurangi jejak karbon. Sumber: Pixabay/AndreasAux

Bumi terasa kian panas. Padahal, sejak dulu matahari tidak pernah beranak. Usut punya usut, rupanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca jadi biang keladi. Sayangnya, dalam konteks itu, kita semua turut berkontribusi.

Jejak karbon yang kita tinggalkan memicu pemanasan global. Mungkin kita belum sadar. Perkara sepele seperti menyalakan lampu pada malam hari atau menikmati segelas kopi di sudut kedai, ternyata, memberi andil terhadap kenaikan suhu udara.

Kendati terasa kurang logis, faktanya memang demikian. Lampu bisa menyala karena sokongan energi listrik. Menurut Kementerian ESDM, sekitar 67 persen energi listrik nasional masih dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.

Ketergantungan kita akan batubara berdampak negatif bagi kelestarian alam. Fakta itu terkuak dari laporan Greenpeace yang menyebut, PLTU bertanggung jawab atas hampir separuh (46 persen) total emisi karbon dioksida di dunia. Secara nasional, rata-rata emisi yang dihasilkan PLTU kita mencapai 6.463 juta ton.

Lalu, bagaimana dengan kopi? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita awali dengan sajian data. Ternyata, tidak semua kopi yang kita nikmati diproduksi di dalam negeri. Data BPS mengungkap, volume impor kopi kita pada 2021 mencapai 13,57 ribu ton. Sebagian besar berasal dari Irak, Brasil, dan Timor Leste.

Distribusi ribuan ton kopi tadi memerlukan transportasi, sebelum sampai ke tangan kita. Umumnya mengandalkan kapal laut. Dalam konteks itulah, jejak karbon tercipta. Agensi Energi Internasional (IEA) mengemukakan, dengan total 646 juta metrik karbon dioksida sepanjang 2020, aktivitas kargo laut internasional punya andil sekitar 2 persen dari produksi karbon dunia.

Celakanya, produksi karbon dunia berpotensi naik seiring memasuki masa endemi Covid-19. Aktivitas manusia berangsur-angsur meningkat, berbanding lurus dengan kebutuhannya. Maka tak heran bila Badan Meteorologi Dunia (WMO) menasbihkan tahun 2022 sebagai tahun terpanas secara global.

Kenaikan suhu bumi pada tahun lalu dilaporkan mencapai 1,15 derajat celsius. Lonjakan suhu itu bahkan lebih tinggi dari suhu pada periode pra-industri, tahun 1850 s.d. 1900. Padahal, tahun lalu kita masih diberkahi dengan fenomena La Nina, atau periode basah global.

Jadi, bisa dibayangkan apa yang terjadi di tahun ini, ketika koin cuaca telah berbalik ke arah El Nino, atau periode kering global. Jika tidak segera diantisipasi, apa yang dikhawatirkan dunia pada Perjanjian Paris berupa akselerasi pemanasan global melampaui 1,5 derajat celsius sangat mungkin terjadi.

Upaya Merawat Bumi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline