Lihat ke Halaman Asli

Adhi Nugroho

Blogger | Author | Analyst

Setahun Bebas Utang, Apa Rasanya?

Diperbarui: 1 Juni 2020   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi hutang (Sumber: pxhere.com)

Desember 2018, dini hari. Pikiran saya kalut diterjang rasa takut. Catatan keuangan saya merekam ada lebih dari satu miliar Rupiah bercokol di sisi pasiva. Andai saya mati esok hari, lantas siapa yang akan melunasi?

***

Bagi kebanyakan orang, fobia saya terhadap utang mungkin terlalu berlebihan. Lebay, begitu kata anak gaul zaman sekarang. Akan tetapi, kecemasan saya lahir bukan tanpa alasan. Kerisauan saya timbul karena satu tilikan sederhana yang lazim diketahui, tetapi sering diabaikan: tiada seorang pun tahu kapan dirinya akan berpulang.

Dari sana, lantas saya berpikir. Apa iya, saya tega membebani istri tercinta dengan setumpuk utang ketika ajal datang menjemput? 

Tentu tidak. Jika sebaliknya, maka saya pantas masuk ke dalam barisan manusia egois yang menyangkal bahwa utang, sekecil apa pun jumlahnya, wajib dikembalikan.

Entah mengapa, malam itu sungguh berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba gagasan “menolak berutang” menggelayuti batok kepala. Saya pun kebingungan. Sebab sejak pertama kali bekerja delapan tahun silam, saya memang terbiasa hidup dengan gelimang utang.

Tahun pertama bekerja sudah punya kartu kredit. Setahun berikutnya tambah cicilan mobil. Dua tahun setelahnya, kartu kredit saya beranak-pinak menjadi empat biji. Bahkan, saya pun mengambil pinjaman multiguna dari koperasi karyawan di kantor untuk melunasi biaya pernikahan.

Setahun bebas utang, apa rasanya? | Foto: Dokumentasi pribadi

Pernah tiba satu masa, gaji saya hanya cukup untuk membayar angsuran mobil dan cicilan minimal kartu kredit. Untuk kebutuhan sehari-hari, saya harus menarik uang tunai lewat kartu kredit hingga batas limit. Gali lubang, tutup lubang. Sungguh, rasanya bikin otak menjerit dan perut melilit.

Besar pasak daripada tiang. Banyak gaya, banyak pula tekanan. Dua pepatah itulah yang merepresentasikan kehidupan saya kala itu. Yang paling mengenaskan, sudahlah banyak utang, aset pun tak kunjung digenggam. Boro-boro punya rumah, mobil satu-satunya pun terpaksa dijual untuk melunasi biaya penalti ikatan dinas di kantor lama.

Kendati demikian, tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak saya perasaan takut berutang. Hanya malam itu saja. Malam ketika saya memutuskan untuk melunasi seluruh saldo utang, dan bertekad hidup tanpa jeratan utang. Selamanya.

Hemat pangkal kaya
Banyak pakar keuangan berujar, tidak apa-apa berutang, asalkan dikelola dengan benar. Tidak apa-apa berutang, asalkan utang produktif, bukan konsumtif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline