Pernah kau perhatikan bangku tempat duduk mu? Dia tak pernah mengeluh sekalipun sendirian. Tubuhnya renta dan hampir lapuk termakan cuaca. Masih di bawah pohon itu, melihat daun berjatuhan sekalipun hujan. Aku ingin berguru padanya, tentang arti setia.
Lihatlah, dengan memejamkan mata. Adakah yang lebih setia dari bangku? Mungkin ada, tetapi kau tak melihat atau tak ingat. “Aku”.
Bangku tetap bisu, manakala tulang-tulangnya ditusuk jarum rindu ingin pulang. Lapuk menggigit saban hari tanpa ampun. Tak ada yang peduli nasib bangku tua malam ini. benar-benar sendiri.
Beruntung bangku, tak seberapa lama, datanglah si tua. Mereka bercengkrama, tertawa dan sesekali terlihat bangku menangis. Kenapa menagisiku? Tanya si Tua. “Tak mengapa. Kamulah rindu, sepekan, serupa dengan seabad tak berjabat.” Jawab bangku kemudian terdiam.
Dini hari semakin sunyi, dingin jadi selimut. Tubuh bangku sudah tak sekuat tabah. Sepekan lagi.
23 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H