Jumlah kasus TPPO di Indonesia masih relatif tinggi meskipun sudah 15 tahun lebih setelah undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di sahkan.
Berdasarkan data yang dihimpun kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (Kemenntrian PPA) dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan anak (SIMFONI) pada tahun 2021 terdapat sebanyak 678 korban TPPO sementara berdasarkan data yang ditangani oleh International Organization for Migration (IOM) sepanjang tahun 2021 mendampingi 70 korban TPPO terdiri dari 38 perempuan dan 32 laki-laki.
Data ini barulah yang tercatat dan penulis meyakini jumlah ini tidak bisa mewakili dari keseluruhan yang terjadi apalagi dengan infrastruktur pelaporan yang belum memadai yang biasanya korban TPPO lebih tinggi dialami perempuan. Dari data tersebut tidak semua kasus yang dibawa sampai ke peradilan oleh para penegak hukum.
Upaya - upaya yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya dapat menurunkan jumlah korban TPPO, selama pandemi memang pemerintah banyak melakukan repatriasi pekerja migran indonesia yang di eksploitasi di luar negeri. Jika mengacu pada kejadian yang umumnya terjadi selama ini, korban TPPO ini biasanya lebih banyak yang di janjikan akan bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi dan tempat kerja yang nayaman dan para oknum penyalur kerja jahat menyasar perempuan yang dengan kondisi ekenomi miskin ataupun terhimpit ekonomi, selain itu sektor lain yang sangat rentan akan TPPO adalah pekerja Anak Buak Kapal (ABK) sebagiamana kita ketahui pekerja migran Indonesia banyak bekerja di kapal-kapal asing yang seringkali bermasalah dan tidak mendapatkan upah dan perlakuan yang layak disinilah peran pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementrian Tenaga Kerja harusnya hadir dan memberikan perlindungan sebagaimana diamanatkan UU No 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Permasalahan lain yang menurut penulis tidak kalah penting terkait data akurat tentang jumlah korban TPPO karena masing-masing punya data sendiri-sendiri sehingga menurut hemat penulis hal ini menunjukkan tingkat keseriusan lembaga terkait dalam menangani permasalahan ini. Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP TPPO) yang dilakukan pemerintah belum memberikan dampak signifikan, hari-hari ini kita jarang mendengar hasil kerja dari GTPP TPPO dan barang kali masyarakat tidak tau apa fungsi dan tugasnya.
Jika mengacu pada ketentuan pasal 2 UU No 21 Tahun 2007 ancaman hukuman TPPO cukup berat dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun pidana penjara. Jika melihat data yang masuk ke persidangan jumlahnya sedikit dan dalam prosesnya yang terbukti melakukan TPPO sedikit sekali malah terjeratnya dengan UU No no 18 Tahun 2017 Tentang Perdagangan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMII) sebagai contoh di Pengadilan Negeri Nunukan dari tahun 2017 -- 2022 kasus yang masuk klasifikasi TPPO sebanyak 7 perkara dan dalam proses perjalanannya tidak satupun yang terbukti dengan TPPO tetapi terbukti dengan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, jika melihat pada kasus yang naik ke persidangan di Pengadilan Negeri Nunukan para pelaku hanyalah yang turut membantu dan bukan pelaku utama yang perannya biasanya menjemput korban atau menyediakan tempat sementara sebelum transit ke negara tujuan dan mereka menerima imbalan tertentu dan pelaku utamanya tidak terjerat oleh penegak hukum yang tentunya mereka akan selalu menggunakan orang-orang suruhan agar sulit terdeteksi dan bahkan sengaja menetap di negara tertentu agar menyulitkan para penegak hukum disinilah dibutuhkan kerja keras para aparat pemerintah termasuk Kementrian Luar Negeri. Berikut ini sekilas ancaman hukuman yang diatur dalam TPPO
Sebagaimana termuat dalam pasal 2
- Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ancaman hukumannya cukup berat dengan minimal 3 (tiga) tahun penjara sementara dalam UU PMII tidak mencantumkan ketentuan minimal penajara sebagaimana ketentuan yang diatur dalam salah satu paslanya yaitu pasal 80
"Setiap Orang yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia, padahal diketahui atau patut menduganya bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)"
Oleh karena itu kita mendorong agar para penegak hukum menggunakan instrumen UU TPPO dalam menjerat para pelaku dan diharapkan memberikan efek jera pada para pelaku TPPO. Hal lain yang harus kita dorong adalah pemerintah harus mampu menjalin perjanjian ataupun kerjasama terhadap negara lain untuk perlindungan tenaga kerja Indonesia terutama di negara-negara yang banyak Tenaga Kerja yang berasal dari Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H