Lihat ke Halaman Asli

Renungan Seorang Guru

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setelah mengikuti workshop kemitraan pada hari Senin tanggal 28 November 2011, penulis tergelitik untuk menulis sesuatu.

Kemitraan suatu program kegiatan dari Dinas Pendidikan kota Yogyakarta, yaitu kemitraan antara guru dari sekolah swasta terpinggirkan di kota Yogyakarta dengan guru dari sekolah negeri favorit di kota Yogyakarta yang mengampu bidang studi yang di-UN-kan dengan tujuan mulia meluluskan siswa 100% dalam UN di provinsi DIY lebih luas lagi merebut kejuaraan dengan prestasi mendapatkan nilai rata-rata UN tertinggi yang belum pernah dimenangkan oleh provinsi DIY.

Tahun ini sudah memasuki tahun ketiga, meski guru pembimbing dari sekolah negeri & guru yang di bimbing dari sekolah swasta tiap tahun berbeda asal sekolah tetapi agenda kegiatannya tetap sama. Guru pembimbing akan membantu guru yang di bimbing mengajar di kelas yang siapa tahu siswa merasa suasana berbeda dengan guru berbeda meski di kelas yang sama sehingga siapa tahu guru tersebut lebih bisa membuat semangat belajar siswa lebih baik dan siapa tahu nilai mata pelajaran yang di-UN-kan siswa meningkat.

Salah satu pembicara dari Seksi Pengembangan Pendidik Bidang Dikmen Dinas Pendidikan di kota Yogyakarta dalam workshop tersebut menegaskan bahwa program kemitraan bukan untuk mendiskritkan sekolah swasta yang selama ini selalu mendapatkan kualitas & kuantitas siswa yang telah tereliminasi sekolah negeri tetapi lebih mengutamakan kemitraan antara guru dari sekolah negeri & guru dari sekolah swasta dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kelulusan siswa di provinsi DIY.

Memang tuntutan Dinas Pendidikan tersebut terhadap guru pengampu bidang studi yang di-UN-kan sangat tinggi. Tuntutan sedemikian menghadapkan pada pilihan guru yang makin menguras tenaga, waktu, dan pikiran dalam kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri. Benarkah kuantitas kelulusan siswa dalam UN dipengaruhi oleh kualitas guru?

Tulisan Rhenald Kasali, Ph.D. di Harian Seputar Indonesia pada tanggal 5 Mei 2011 mengklasifikasikan ada 2 jenis guru, yaitu guru kognitif & guru kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Guru tersebut hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan. Bagi guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory.

Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum tetapi tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali di ajak bicara guru tersebut mulai dengan mendengarkan dan saat menjelaskan sesuatu, guru tersebut selalu aktif menggunakan segala macam alat peraga. Guru tersebut bukan sibuk mengisi kepala siswa dengan rumus-rumus melainkan membongkar isi kepala siswa tersebut dari segala belenggu yang mengikat yang di tanam oleh guru, orang tua, dan tradisi yang justru mengantarkan siswa pada perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar, sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya. Guru tersebut lebih mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills maupun hard skill. Bagi guru kreatif, pusat pembelajaran tidak hanya ada di kepala manusia tetapi ada di seluruh tubuh manusia. Memori manusia yang kedua tersebut dalam biologi di kenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri, dan seterusnya.

Sebagai guru seharusnya menjadi manusia yang berkepribadian bebas yang dapat menentukan pilihannya sendiri apakah akan menjadi guru kognitif atau guru kreatif. Guru seharusnya bebas menerima dan mengintegrasikan nilai dan harapan kekuatan kultural masyarakat dan legal negara yang bersifat mengikat lebih merupakan panduan dalam membentuk identitas guru di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, setiap individu yang memilih profesi menjadi guru hanya bisa bertumbuh dewasa yang bertanggung jawab apabila guru tersebut menjadi manusia berkepribadian bebas. Hanya dengan itu guru bisa keluar dari kungkungan kesempitan dalam kesempatan untuk belajar dan mengembangkan dirinya.

Selamat memilih guru di Indonesia.

Nathalia Kusumasetyarini

Guru di kota Yogyakarta




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline