Film yang mengangkat cerita tentang tokoh utama mengalami penyakit atau kekurangan tertentu selalu menarik perhatian para penonton. Tak ayal jika para sineas film berlomba-lomba untuk menciptakannya. Di Indonesia ada "Surat Kecil untuk Tuhan" dan "Ayah, Mengapa Aku Berbeda?" yang sempat ngetren beberapa tahun lalu. Sementara di luar ada "The Fault in Our Stars" dan "Wonder" yang mendapatkan hati para pecinta film.
Mengikuti jejak film-film tersebut, belum lama ini rilis film hollywood "Please Stand By" di Indonesia yang berkisah tentang seorang gadis pengidap autis dengan sindrom asperger. Namun jika biasanya film dengan konflik berupa si tokoh utama mengidap kekurangan tertentu memiliki alur cerita yang sedih dan mengharu biru, tidak demikianlah dengan film "Please Stand By".
Film yang dibintangi oleh Dakota Fanning tersebut justru disajikan dengan warna berbeda. Sebagai penonton, kita akan dibuat terharu justru lewat adegan-adegan yang jenaka. "Please Stand By" adalah film yang membuat kita tersentuh lewat tawa.
Tak Sekadar tentang Autisme
Pertama kali mendengar judulnya, saya tak mengerti kenapa sang sutradara atau pembuat film memberikan judul "Please Stand By". Saya pun bertanya-tanya dan entah kenapa saya berharap ada judul lain yang diberikan ketimbang judul tersebut. Saya bahkan berpikir bahwa saya mungkin tidak jadi menonton jika saya hanya melihat judulnya saja tanpa melihat trailer, daftar pemain atau membaca sinopsisnya terlebih dahulu.
Rasa penasaran saya baru terjawab setelah menonton filmnya selama beberapa menit. Saya akhirnya dapat menangkap tentang kenapa judulnya adalah "Please Stand By". Saya pun sadar bahwa garis besar film ternyata sudah dijawab lewat judul film itu sendiri.
Di beberapa menit awal film tampak ada adegan saat Audrey (Alice Eve) datang mengunjungi tempat tinggal adiknya, Wendy (Dakota Fanning) yang berusia 21 tahun. Sebenarnya Audrey datang hanya untuk melepas rindu saja. Maklum, setelah menikah dan memiliki anak, mereka pisah rumah karena Wendy harus diterapis agar keadaannya tidak memburuk. Namun Wendy justru salah menduga maksud kakaknya.
Saat Audrey memberikan foto anaknya bernama Ruby yang masih bayi, Wendy justru jadi ingin merasa tinggal bersamanya. Ia merasa bahwa sebagai bibi dari Ruby, sudah seharusnya ia dapat menjaga dan merawat keponakannya sendiri karena sejak Ruby lahir mereka belum pernah bertemu. Wendy kemudian meminta kepada kakaknya untuk dapat tinggal bersamanya, akan tetapi sang kakak justru menolak. Bukan berarti Audrey tak menerima Wendy. Ia sungguh sangat menyayanginya. Hanya saja ia berpikir bahwa belum saatnya Wendy untuk pulang dan tinggal bersamanya.
Tak suka permintaannya ditolak, Wendy akhirnya berontak. Ia 'kambuh'. Sembari memukul-mukulkan kedua tangannya ke kepalanya, Wendy berteriak sekencang-kencangnya. Audrey berusaha mengembalikan keadaan Wendy namun tak berhasil. Di saat itulah Scottie (Toni Collete), sang terapis datang dan berusaha menenangkan Wendy. Ia tidak melakukan apapun kecuali mengucapkan kata-kata "Please Stand By" atau dalam Bahasa Indonesia berarti "Tenanglah" berkali-kali. Keadaan Wendy pun berangsur membaik setelah itu.
Sebagai seorang pengidap autisme, tidak mudah bagi Wendy dalam menjalani hidup. Sebagaimana pengidap pada umumnya, ia punya 'dunianya' sendiri. Ia tidak fokus saat diajak berbicara. Tidak ada kontak mata saat ia berkomunikasi dengan orang lain.
Kesulitan lainnya adalah Wendy sangat taat pada peraturan. Ia harus melakukan sesuatu berdasarkan instruksi dan setiap detil kejadian yang ia alami ia catat di dalam buku catatan kecil yang ia bawa kemanapun. Ia juga sangat sensitif dengan suara-suara bising, entah itu suara mobil, motor ataupun lainnya. Maka dari itu setiap kali berpergian, ia selalu mendengarkan musik lewat headset untuk mengalihkan perhatian.