"Maling! Maling!"
Sekelompok orang berteriak mengejar-ngejar seorang pemuda. Mereka kesal bukan main. Bagaimana bisa kotak amal masjid dicuri? Maka mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk menangkapnya. Berharap untung, yang didapat justru buntung. Pemuda pencuri kotak amal tersebut akhirnya 'tertangkap' oleh warga. Ia dihajar habis-habisan. Wajahnya pun babak belur.
Si pemuda pencuri kotak amal kemudian dibawa ke Masjid Al-Kautsar. Di sana diketahuilah bahwa ia bernama 'Bewok' (M. Taufik Akbar). Kepada pak RW dan beberapa pemuda masjid, ia lalu menjelaskan bahwa alasan kenapa ia mencuri kotak amal adalah karena 'kebelet' nikah'. Namun karena tidak punya uang dan ingin cara pintas, maka mencuri kotak amal masjid adalah satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan.
Kali ini Bewok beruntung. Ia tidak dihakimi oleh pak RW ataupun para pemuda masjid. Alih-alih dilaporkan ke polisi, Pak RW justru mengangkatnya sebagai marbot alias petugas kebersihan masjid.
Kesehariannya yang lambat laun dekat dengan masjid kemudian mengantarkannya pada kedekatannya dengan lima pemuda masjid dengan latar belakang dan pengalaman hidup berbeda-beda. Mereka adalah Gani (Faisal Aziz Harahap), Budi (Aditya Surya Pratama), Usman (Zaky A. Rifa'i), Abian (Zikri Daulay) dan Lukman (Ahmad Syarief).
Perlahan tapi pasti, Bewok akhirnya tahu kisah tentang kenapa kelima orang temannya itu bisa dekat dan cinta dengan masjid. Tanpa disadari, sejak itulah hidup Bewok berubah menjadi lebih baik. Seperti apakah kisah mereka masing-masing hingga akhirnya kelima pemuda bisa bertemu di masjid? Inilah yang kemudian menjadi benang merah dari film "Lima Penjuru Masjid".
Mengambil tema sederhana yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, "Lima Penjuru Masjid" adalah film yang ringan namun membawa pesan. Intinya, jika kita umat muslim, sudah seharusnya kita mencintai dan memakmurkan masjid. Cara paling mudah adalah dengan melakukan sholat berjamaah.
Menonton film ini membuat saya merasa 'diingatkan'. Sebagai orang Islam saya pun jadi bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Sudah seberapa sering saya 'bolong' dalam sholat? Sudah seberapa jauh saya membiasakan sholat berjamaah di masjid? Begitu pun dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Walau kadar ketakwaan masih jauh dari kata 'cakep', namun saya sadar bahwa saya harus memperbaiki ibadah saya dari waktu ke waktu.
Hal yang saya suka lainnya dari film ini adalah adanya kritik tentang orang dewasa yang menyuruh pulang anak kecil karena bercanda saat diadakan sholat berjamaah di dalam masjid. Hal ini jarang diungkap (atau apa belum ada ya?) di dalam film namun kenyataannya hal seperti itu adalah realita. Faktanya, ada loh beberapa 'oknum' jamaah suka mengusir anak kecil yang bercanda saat sholat karena dianggap mengganggu kekhusyukkan ibadah. Jika itu terjadi, maka jangan salahkan jika saat dewasa nanti, seseorang tidak dekat dengan masjid. Bisa jadi karena di masa kecilnya ia mengalami pengalaman tidak mengenakkan dari 'oknum' jamaah yang mengusirnya karena bercanda.
Dari segi pesan, film ini bagus karena sangat jarang yang mengangkat tema tentang mencintai masjid. Namun dari aspek-aspek lain, sayangnya Humar Hadi selaku sutradara sekaligus penulis skenario kurang memaksimalkan potensi yang ada. Padahal kalau dilakukan, hasilnya akan jauh lebih baik.
Salah satunya adalah adanya beberapa adegan yang tidak penting dan janggal. Misalnya adegan saat Jumin (Arafah Riyanti) berinteraksi dengan Dodo dan Syakir (Syakir Daulay) di tempat laundry milik Lukman. Menurut saya itu tidak penting karena adegan tersebut tidak mempengaruhi jalannya cerita.