Siapa yang mau lihat pameran lukisan Senandung Ibu Pertiwi?" Tanya Mak Muthiah Alhasany, admin CLICKKompasiana, komunitas pengguna KRL kompasiana. Senandung Ibu Pertiwi? Wah, sebenarnya saya sudah tahu akan pameran lukisan tersebut update-an sejumlah teman blogger di jejaring Instagram. Namun berhubung belum sempat dan ternyata kebetulan Mak Muthiah mengajak teman-teman pergi ke sana, tanpa pikir panjang saya langsung merespon,"Mauuu".
Kesempatan bagus! Saya pikir kapan lagi melihat lukisan koleksi istana sejak zaman Soekarno? Saya suka sekali dengan pameran seni dan jarang-jarang kegiatan seperti ini diadakan. Saya pikir, "Wah kalau bareng-bareng ke sana terlebih dengan orang yang memiliki minat yang sama pasti lebih seru!"
Berlangsung sejak tanggal 2 hingga 30 Agustus di Galeri Nasional Jakarta, pameran lukisan"Senandung Ibu Pertiwi" menampilkan lukisan-lukisan koleksi istana sejak era Soekarno, mulai dari koleksi lukisan di Istana Bogor, Jakarta, Bali dan Yogyakarta. Dikutip dari situs berita Okezone,Senandung Ibu Pertiwi bermakna tanah air, yang diartikan lebih dalam sebagai kekuatan yang di dalamnya mengandung banyak potensi.
Pameran ini terselenggara berkat kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak dalam rangka memeriahkan peringatan HUT RI yang ke-72. Di antaranya adalah Kementerian Sekretariat Negara, Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) dan Mandiri Art. Acara ini juga didukung oleh Jadi Mandiri, sebuah media independen yang mendukung berbagai kegiatan yang berhubungan dengan finansial, kewirausahaan, destinasi dan produktivitas. Media sosialnya bisa diakses via IG, twitter, facebook dan website. Selain itu terlibat pula 4 orang kurator andal di dalamnya, seperti Amir Sidharta, Mikke Susanto, Asikin Hasan dan Sally Texania.
Soekarno tak hanya seorang bapak proklamator. Ia juga seorang penikmat seni. Beliau hobi banget dalam mengoleksi lukisan bertemakan Indonesia dari berbagai pelukis, mulai dari Henk Ngantung, Dullah hingga Basuki Abdoelah. Rasa penasaran akan seperti apa dan bagaimana selera Soekarno dalam menilai dan mengoleksi lukisan menjadi alasan kenapa saya tertarik dengan pameran ini. Akhirnya pada Sabtu, 26 Agustus 2017 kami para blogger yang terdiri dari saya, Nugroho, Erni, Gio dan tentunya Mak Muthiah mengunjungi pameran. Tak sekadar melihat-lihat lukisan saja, kami pergi ke sana juga untuk berpetualang ke dimensi waktu berbeda guna menyelami sejarah dibalik lukisan yang ada. Bukankah lukisan itu dapat berbicara?
Lokasi galnas yang strategis, di jantung ibukota dan terletak di dekat Stasiun Gambir membuat kami tidak mengalami kesulitan untuk mencapai ke sana. Saya dan Nugroho sendiri pergi ke sana dengan menaiki transjakarta. Dari halte Monas, kami naik ke arah Pulogadung dan kemudian turun di halte Stasiun Gambir 1. Nah, dari Gambir 1 barulah kami berjalan kaki dan menyeberang lewat jembatan penyeberangan untuk sampai ke Galeri Nasional. Sekadar informasi, Galeri Nasional adalah ruang publik yang dibangun pada masa pemerintahan BJ Habibie.
Untuk memasuki ruang pameran, kita harus mengikuti peraturan, yakni kita tidak boleh membawa tas dan benda-benda lainnya seperti seperti jaket, topi, kacamata gaya, masker hingga alat tulis. Intinya hanya dompet, handphone dan power banksaja yang boleh dibawa. Oleh karena itu sebelum menjelajah, kita harus menitipkan benda-benda tersebut terlebih dahulu ke tempat penitipan.
Pameran Senandung Ibu Pertiwi terbuka untuk umum. Siapapun bisa masuk ke dalamnya. Pameran ini juga tidak memiliki HTM sama sekali. Itu artinya, siapapun bisa masuk ke dalamnya dengan Rp 0 atau gratis. Sebagai tanda bukti, kita hanya akan mendapatkan cap stempel pada punggung tangan kanan. Barulah setelah itu kita masuk ke dalam ruang pameran dengan melewati pemeriksaan terlebih dahulu. Siapapun yang kedapatan membawa barang berbahan logam, seperti kunci misalnya diminta untuk menyimpannya kembali di tas di tempat penitipan.
Memasuki ruang pameran membuat saya seketika terkesima. Kata Mak Muthiah, bangunan Galnas adalah bangunan bekas zaman Belanda. Wah pantesan bangunannya bagus! Ruangannya besar dan arsitekturnya ala Eropa. Dikutip dari website Galeri Nasional, gedung ini dibangun sejak 1817 oleh G.C. van Rijk. Dulunya bangunan tersebut dipakai untuk asrama khusus bagi wanita pada zaman Hindia-Belanda. Setelah sekian lama digunakan oleh Belanda, barulah pada 1962 Presiden Soekarno mengambil bangunan tersebut dan menyerahkannya kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kembali ke pameran, ketakjuban saya semakin bertambah setelah melihat lukisan-lukisan yang terpampang di dinding-dinding ruangan. Lukisan-lukisan tersebut cantik sekali. Instagrammable! Cocok banget buat dijadikan latar foto profil medsos! Pada beberapa lukisan terdapat penjelasan singkat tentang sejarah atau cerita di balik lukisan itu sendiri, pada beberapa lainnya tidak ada sama sekali. Dalam hati saya membatin, "Lumayan buat nambah wawasan dan ilmu pengetahuan."
Saya memandangi dan memperhatikan tiap lukisan yang ada di sana saya satu per satu. Saya sesungguhnya tidak begitu mengerti apa arti atau penafsiran dari masing-masing lukisan. Kenapa sih si pelukis melukiskan ini? Kenapa sih si pelukis memberi warna seperti ini? Berbagai tanya berputar-putar di otak saya.