Lihat ke Halaman Asli

Gangguan Jiwa sebagai Gangguan Fisiologis

Diperbarui: 15 Maret 2023   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belakangan ini, kita mendengar banyak hal mengenai gangguan jiwa di dunia nyata maupun dunia maya. Istilah-istilah seperti healing, self-compassion, dan anxiety menjadi istilah yang bersahabat bagi telinga kita. Akan tetapi, di masyarakat sendiri, masih terdapat miskonsepsi terhadap penderita gangguan jiwa. Banyak kalangan di masyarakat berpikir bahwa gangguan jiwa sepenuhnya merupakan gangguan yang disebabkan oleh masalah pada entitas jiwa atau bahkan roh seseorang. Maksud dari masalah pada entitas jiwa atau roh adalah masalah yang berasal dari peristiwa yang tidak menyenangkan, kurang bersosialisasi, ataupun kerasukan makhluk gaib. 

Memang betul, faktor-faktor tersebut dapat menjadi faktor risiko dari gangguan jiwa, yaitu variabel yang meningkatkan risiko kita terhadap suatu penyakit. Akan tetapi, faktor risiko bukanlah penyebab dari gangguan jiwa karena tidak secara langsung menyebabkan gangguan jiwa. Melainkan, gangguan jiwa itu  disebabkan oleh gangguan pada fisiologi kita , yaitu gangguan yang berkaitan dengan sistem tubuh kita. Gangguan jiwa tidaklah berbeda dengan penyakit-penyakit fisiologis lainnya seperti serangan jantung ataupun diabetes. Sayangnya, gangguan jiwa tetap saja tidak dianggap masyarakat sebagai penyakit fisiologis, dan inilah letak masalahnya. 

Masalah di atas akan menyebabkan stigma dalam masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Masyarakat secara umum belum cukup dewasa dalam mengkategorikan gangguan jiwa sebagai penyakit psikis karena tidak memiliki gambaran yang baik mengenai penyakit psikis. Banyak orang di dalam masyarakat menganggap orang yang mengalami penyakit psikis seperti gangguan jiwa merupakan orang gila, kerasukan makhluk gaib, ataupun asumsi lainnya yang sangat menyesatkan. Oleh sebab itu, klasifikasi gangguan jiwa sebagai penyakit fisiologis harus dinormalisasikan agar masyarakat dapat memahami dasar daripada penyakit psikis, yakni masalah fisiologis. 

Sebagian besar ilmuwan menyetujui bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh masalah pada neurotransmisi, yaitu komunikasi antar saraf di otak kita. Masalah pada neurotransmisi akan menyebabkan gangguan pada transmisi neutrotransmitter. Neurotransmitter adalah senyawa kimia dalam tubuh yang berfungsi untuk mengirimkan pesan antar sel saraf, seperti serotonin, dopamin, dan oxytocin. Senyawa-senyawa ini dapat mempengaruhi keadaan mental seseorang, misalnya dengan membuat seseorang merasa senang, nyaman, dan lain sebagainya. 

Gangguan pada transmisi neurotransmitter sendiri menjelaskan mengapa kadar serotonin dalam individu dengan gangguan jiwa seperti gangguan kecemasan itu rendah. Jika gangguan jiwa adalah gangguan yang sepenuhnya berasal dari entitas jiwa, maka seharusnya dengan memperbaiki entitas jiwa (misalnya dengan banyak bersosialisasi dan berdoa), gangguan jiwa dapat diselesaikan. Sayangnya, kenyataannya bukan demikian. 

Sebagian besar penderita gangguan kecemasan harus diresepkan antidepresan seperti Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) agar penyerapan kembali serotonin dapat dihambat, sehingga kadar serotonin dalam individu dengan gangguan kecemasan dapat kembali ke kadar yang normal. Ini adalah contoh bagaimana gangguan kecemasan, sejenis gangguan jiwa, itu dirawat dengan pendekatan fisiologis, sama seperti serangan jantung ataupun diabetes. Ada juga penderita gangguan kecemasan yang memutuskan untuk tidak mengonsumsi antidepresan, melainkan menjalani terapi seperti Cognitive Behavioural Therapy (CBT). 

Terapi ini juga menggunakan pendekatan fisiologis karena melalui terapi ini, dilakukan restrukturisasi otak melalui pembentukan susunan saraf yang baru sehingga penderita tidak merasakan kecemasan secara berlebihan lagi. Melihat beberapa pendekatan di atas dalam merawat gangguan mental, manifestasi-manifestasi psikis dari gangguan jiwa hanyalah efek samping daripada masalah fisiologis yang terjadi.

Dari contoh kasus di atas, tampak dengan jelas bahwa gangguan jiwa merupakan yang berasal yang fisiologi kita yakni gangguan pada neurotransmisi yang terjadi di saraf kita. Dengan demikian jika seseorang merasa cemas, murung, dan lain sebagainya, penyebabnya adalah gangguan pada neurotransmisi. Tentu saja ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko kita terhadap gangguan jiwa, misalnya peristiwa yang traumatik, stress kronis, dan bahkan kurang berdoa sehingga merasa gelisah.

 Akan tetapi, faktor-faktor tadi bukanlah penyebab dari gangguan jiwa. Gangguan jiwa sepenuhnya disebabkan oleh gangguan pada neurotransmisi. Penerima Penghargaan Nobel dan profesor neurosains di Universitas Colombia Eric Kandel pernah mengatakan "semua proses mental adalah proses otak, dengan demkian semua gangguan pada fungsi mental adalah penyakit biologis." 

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit fisiologis. Ada banyak cara untuk menormalisasikan klasifikasi gangguan jiwa sebagai penyakit fisiologis, misalnya melalui media sosial ataupun bidang pendidikan. Bagaimana pun caranya, tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri stigma yang ada tentang gangguan mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline