Lihat ke Halaman Asli

Pernyataan Presiden Mengkonfirmasi Kondisi Ekonomi Eksternal Bermasalah

Diperbarui: 27 Juli 2018   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi saat membuka Rakornas Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) 2018 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (26/7/2018) mengatakan bahwa kita menghadapi dua masalah mendasar ekonomi yaitu transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang masih defisit; Kedua masalah investasi sektor parawisata sebagai penghasil devisa perlu yang masih rendah.

Selanjutnya untuk menekan defisit perdagangan dan transaksi berjalan perlu peningkatan ekspor dan penurunan impor.    Investasi sektor parawisata perlu digenjot karena Presiden yakin, menurut pendapat saya, bahwa parawisata merupakan sektor penghasil devisa yang mampu memperkuat secara permanen pilar ekonomi eksternal yang sedang rapuh. 

Sektor industri yang berorientasi ekspor yang dimiliki oleh perusahaan multinasional tidak bisa diandalkan sepenuhnya sebagai penghasil devisa untuk memperkuat pilar ekonomi eksternal karena devisa yang dihasilkan dari ekspor tersebut dimiliki oleh perusahaan multinasional yang sewaktu-waktu bisa dicabut dari Indonesia, tergantung kondisi ekonomi Indonesia.  Saat ini pertumbuhan ekspor industri manufaktur tidak menggembirakan bahkan negatif.  Strategi Eksport Led Industrialization untuk mendorong ekspor yang dilakukan sejak era Soeharto sampai era Jokowi ternyata tidak mampu membuat pilar ekonomi eksternal yang kokoh.

Neraca perdagangan masih defisit bahkan Gubernur BI mengatakan tahun 2018 defisit neraca transaksi berjalan diproyeksikan membengkak menjadi US$ 25 milliar atau naik 45% dibanding tahun sebelumnya.  Penyebab utamanya karena laju impor meningkat jauh lebih besar dibanding ekspornya.  Laju impor yang tinggi tersebut disebabkan oleh akselerasi pembangunan infrastruktur yang melampui titik optimalnya.  Menurut saya, pernyataan Gubernur BI tersebut sebenarnya mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam akselarasi laju pembangunan karena daya dukung pilar ekonomi eksternal yang rapuh sudah terlampui.

Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa setiap pelemahan nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp 100 akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara sebesar Rp 1.7 trilliun.  Pernyataan ini benar kalau hanya dilihat dari sisi penerimaan negara.  

Bagaimana dengan tambahan rupiah untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga serta pengeluaran lainnya dalam dollar?.  Menurut saya pernyataan Menkeu ini benar tapi tidak jujur memberikan penjelasan secara menyeluruh mengenai dampak pelemahan rupiah kepada masyarakat termasuk dari sisi pengeluarannya.   Pernyataan Menkeu ini diibaratkan dengan potret seorang yang kehilangan telinga kirinya  karena digigit anjing.  Supaya tidak kelihatan, maka diprotet dari sudut kanan yang telingannya  masih baik. 

Interpretasi saya lebih lanjut, pernyataan Menkeu tersebut memrupakan pernyataan dari seorang pejabat yang kalap melihat dampak pelemahan rupiah terhadap kondisi ekonomi eksternal yang rapuh.  Kalau memang pelemahan itu menguntungkan, lakukan saja kebijakan devaluasi sampai Rp 20.000 per US$.  Tentu pemerintah tidak akan berani karena berdampak luas pada kondisi ekonomi nasional.  

Sekali lagi pernyataan Menkeu tersebut mengindikasikan kondisi ekonomi eksternal yang rapuh sedang bermasalah dan takut masyarakat panik.  Untuk menangkan masyarakat. Menkeu menyatakan bahwa pelemahan rupiah justru menguntungkan penerimaan negara, padahal telinga sebelah kirinya hilang digigit anjing.   

 

Nizwar Syafaat, Ekonom dan  Pengamat Kebijakan Publik. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline