Lihat ke Halaman Asli

Polemik Mondatori Sertifikasi Halal

Diperbarui: 31 Oktober 2018   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Konsumsi produk halal menjadi suatu kewajiban bagi umat muslim. Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, telah berfiman dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 168

' Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan jangan lah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.'

Secara tegas Allah SWT menyatakan konsumsi produk halal dan thoyyib (baik) merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim dan haruslah menjadi way of life. Konsumsi Halal tidak sebatas pada produk pangan, tetapi juga produk non-pangan dan bahkan jasa. Sertifikasi halal menjadi poin penting dalam merealisasikan hal tersebut.

Jika menilik dalam ranah internasional, produk halal memiliki potensi yang besar. Lembaga Pew Research Center's Forum on Religion & Public life memproyeksikan total penduduk muslim dunia akan meningkat dari 1,6 miliyar jiwa di tahun 2010 menjadi 2.2 miliyar jiwa di tahun 2030. Penduduk muslim sebanyak 2.2 miliyar tersebut tentu membutuhkan produk halal dalam menunjang kehidupan sehari-harinya. Potensi produk halal juga diperkuat dengan laporan state of global islamic economy 2017/18 yang menyatakan bahwa potensi permintaan pasar dunia akan mencapai 3,081 miliar dolar di tahun 2022. Keseluruhan potensi ini berujung pada vitalnya penjaminan atas produk halal.

Pemerintah Indonesia telah lama menyadari urgensi dan pentingnya sertifikasi pada produk halal. Dikeluarkannya UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal menjadi perwujudan keseriusan pemerintah dalam menangkap potensi ini. Implikasi keberadaan undang-undang ini ialah mondatori sertifikasi produk halal pada setiap produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia. Setiap produk yang beredar tidak hanya harus belabelkan SNI tetapi juga halal. Sertifikasi halal bukan lagi bersifat sukarela.

Sertifikasi produk halal akan memberikan competitve advantage bagi produk Indonesia di pasar internasional tetapi tidak pada pasar domestik. Sertifikasi produk halal menambahkan value rasa aman dan syukur mampu menerapkan ajaran agama pada konsumen. 

Value yang diberikan ini akan menarik minat konsumen untuk memilih produk tersebut, dengan catatan produk lain tidak memiliki value serupa. Value ini tidak akan memberi dampak signifikan pada pasar domestik Indonesia karena keberadaan mondatori sertifikasi halal, terlebih bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah.

 Sertifikasi halal merupakan proses yang kontinyu, berbayar, dan perlu diperbaharui dalam jangka empat tahun. Sertifikasi halal hanya akan dipandang sebagai biaya tambahan dengan kondisi seperti itu, terebih bagi UMKM yang tidak menyasar pasar internasional. 

Berawal dari hal tersebut menjadi hal yang wajar untuk mempertanyakan mondatori sertifikasi halal bagi UMKM? Yang perlu digarisbawahi ialah tidak memiliki label halal MUI belum tentu tidak halal. Polemik lain yang kemudian muncul ialah kewajiban industri jasa untuk mengantongi label halal. Pengukuran ilmiah terhadap parameter halal bagi sektor jasa perlu dipertanyakan.

Konsumsi produk halal merupakan kewajiban bagi umat muslim. Proses sertifikasi merupakan bentuk penjaminan atas ke-halal-an produk. Sertifikasi produk halal tentu memberikan competitive advantage untuk produk ekspor tidak untuk produk domestik. Namun, bukankan Indonesia talah memiliki SNI? Apakah label halal harus terpisahkan dari SNI?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline