Benarkah pendidikan kita benar-benar gagal?
Sangat tidak bersyukur, kalau saya yang telah menempuh pendidikan selama 15 tahun mengatakan "Pendidikan Indonesia Gagal!" dengan sepenuh hati. Tidak. Guru-guru saya mulai dari TK hingga jenjang universitas, pasti selalu mempersembahkan yang terbaik untuk anak didiknya.
Selaku murid, kita patut mengucapkan, terima kasih guru! Tanpamu, aku buta akan ilmu!
Meski para murid didik rutin di sekolah, seringkali saya dengarkan kabar tak menyenangkan betapa banyak tanggapan mengenai pendidikan Indonesia, yang dinilai memprihatinkan. Dompet Dhuafa University pernah melakukan penelitian terkait presepsi masyarakat tentang program pendidikan.
Terdapat 449 responden dari 8 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian itu, 86% responden menilai pendidikan Indonesia belum mampu memberikan dampak positif terhadap budi pekerti, sedangkan 14% menyatakan sudah puas. (Tirto.id : Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita)
Kita semua tahu, Indonesia melalui Kemendikbud telah melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional, dalam rentang 1947-2013. Sah-sah saja melakukan perubahan kurikulum.
Namun menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Nanang Fattah mengatakan, "Kurikulum jangan banyak diubah. Selain membingungkan, juga kurang efektif. Perubahan kurikulum hanya ramai di atas, sedangkan di bawah tenang-tenang saja atau kurang banyak terpengaruh"
Faktanya, menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Posisi itu berada di bawah Vietnam. Data Balitbang (2003), bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Progam (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Dan, dari 8.036 SMA, ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
"Males!" kata adik saya, ketika nggak mau saya suruh ngerjain PR (Sebelum pandemi Covid-19). "Tugasnya banyak, gurunya galak. Cuma mendikte dari buku, orasi di kelas. Tahulah, guru yang lain juga ngasi PR banyak!"
Saya ketawa, saya dulu juga merasa seperti itu. Andaikan orat-oret matematika saya dikumpulkan selama 15 tahun, bisa ribuan kertas tuh. Tapi nggak paham juga sampe sekarang. Berlaku juga di pelajaran yang lain, ingetnya cuma cara gurunya ngajar, bukan ilmunya. Lucu.