Lucinta Luna sebagai simbol intoleransi di Indonesia
*Semua pendapat dalam artikel ini bersifat personal dan bukan atas tanggung jawab Kompasiana maupun background kampus penulis.
"Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tidakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan." (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015).
Pendahuluan
Tumbuh besar di Indonesia dengan background culture yang sangat diverse, tidak langsung membuat saya paham bahwa dari banyaknya perbedaan tersebut, kita sebagai individual harus menghargai yang lain dengan tidak meledeki atau mencemooh seseorang lainnya hanya karena berbeda dengan kita. Everyone need education, but when they're not privileged enough to get that basic things, doesn't mean they can be intolerance with others. It takes years for me too, to finally understand about it. Entah dari social media yang saat ini mulai lebih "Open" atau dari background kuliah saya, yang membuat saya harus "Open" terhadap perbedaan tersebut. Dari SD sampai dengan sekarang duduk dibangku kuliah selama 3 tahun di salah satu universitas di Jakarta tentu membuat lingkungan saya dikelilingi oleh banyaknya perbedaan. Entah itu bertemu teman sekolah yang berbeda daerah, misalnya dari Papua, Sumatera, Kalimantan dsb. Juga di kampus ada perbedaan sederhana seperti perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, perbedaan tinggi badan maupun berat badan, perbedaan pendapat saat di kelas. But does it makes me accept the diversity right away? I don't think so. Seperti yang saya sampaikan diawal, it takes time to me to finally understand it. Lantas bagaimana dengan yang lain? Dengan masyarakat Indonesia yang lain, yang mungkin tidak bisa merasakan privilege untuk mengakses internet untuk "educate themselves", atau mereka yang tidak bisa berkuliah untuk "open up their eyes"? For me, the answer is, the environment. Lingkungan mereka.
As written on title, Lucina Luna sebagai simbol Intoleransi di Indonesia. Saya akan membahas mengenai beliau. Lucinta Luna, dikenal sebagai pedangdut cantik tanah air yang juga menjadi bagian dari Duo Bunga bersama Ratna Pandita dengan goyang andalan yang diberi nama Bunga Mekar. Nama Lucinta Luna mulai ramai dibicarakan dikarenakan isu yang menyebutkan bahwa Lucinta Luna adalah seorang Transgender. Wanita kelahiran Jakarta, 16 Juni 1992 ini diberitakan sempat ikut reality show bertajuk Be A Man, sebuah acara yang bertujuan untuk mengembalikan para waria agar kembali ke kodratnya. (Sumber: Viva.co.id). Per 28 Juli 2022, Lucinta Luna memiliki followers sebanyak 2,8juta pengikut diakun instagramnya yang memiliki username lucintaluna_manjalita.
Jika melihat akun instagram Lucinta Luna, dan melihat kolom komentar di instagramnya, tidaklah asing bagi kita melihat komentar netizen yang mengungkap Lucinta Luna adalah seorang waria. Seperti "Kodam Fashion Week", "Jangan Ratu, takut khodamnya balik lagi" pada suatu postingan Lucinta Luna mengenai keinginannya untuk ikut Citayem Fashion Week yang sedang ramai dibicarakan (Sebuah istilah dari ramainya daerah SCBD yang inisial aslinya Sudirman Central Business District, menjadi Sudirman, Citayem, Bojong Gede, Depok karena banyaknya anak-anak remaja Citayem -- Bojong Gede yang berkumpul didaerah tersebut dan ramai diberbagai social media).
Lantas apa inti dari hal ini? You guys said right, netizen -- netizen yang saya sebutkan tersebut memberikan contoh kecil intoleransi yang terjadi di Indonesia. Menurut KBBI, Toleransi berasal dari kata Toleran, yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan definisi Intoleran dalam KBBI, yaitu tidak tenggang rasa, tidak toleran. Intoleransi, dalam kata lain, adalah kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi.
Saat Lucina Luna sudah mendeklarasikan dirinya sebagai wanita, kita sebagai human being, jika bertoleransi, akan menghargai beliau dengan tidak menyebutnya "Waria", "Wanita Jadi-Jadian","Manusia 9 Nyawa" dan ejekan lainnya, karena mengingat gagasan Bung Karno (1945): "Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsawanan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tapi semua buat semua."
Dengan mengartikan negara sebagai 'semua buat semua', maka Soekarno mendefinisikan negara sebagai sebuah kerangka universal yang mana termasuk agama, kelas sosial, etnis dan golongan. Pendahulu kita sadar bahwa kegagalan menjaga keanekaragaman akan menjadi bumbu kehancuran negara. Untuk itu mereka menyepakati satu hal yang membangun bangsa ini dengan keberagaman sebagai fondasinya. Bahwa negara tidak boleh didasarkan pada satu golongan saja maupun etnis tertentu saja.
Konflik atau persoalan yang mengatas namakan agama juga marak sekali di kalangan. Masyarakat selama beberapa tahun terakhir khususnya di media sosial. Permasalahan mengenai agama memang sangat rentan jika diperbincangkan, terlebih terdapat oknum-oknum yang terlalu ekslusif mengklaim ajaran agamanya. Pada isu Lucinta Luna juga tidak terlepas dari persoalan tersebut. Ada kubu yang kontra mengatasnamakan agama, ada juga kubu yang pro dengan memberikan sifat humanism-nya.