Lihat ke Halaman Asli

Malam

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wahai malam, aku ingin sedikit berbagi cerita denganmu. Tapi aku khawatir kau terlalu bosan mendengar ceritaku yang terkadang penuh dengan keluh dan kesah semacam para pesakitan.

Jadi begini,

Kemarin, aku bertemu pagi. Tapi kulihat dia terlalu sibuk dan akhirnya segera berlalu dan berlari. Padahal ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan pagi. Kutunggu dia bermalam panjang, dan kunanti saat senja meregang. Namun apalah daya, lagi-lagi pagi selalu cepat pergi.

Keesokannya, kutemui siang untuk membagi ceritaku. Tapi siang sepertinya sedang lelah dan tak ingin diganggu. Terlebih, kulihat wajahnya memerah, bukan karena bersemu malu, tapi sepertinya agak sedikit marah. Mungkin karena gerah. Lalu akupun hanya sedikit menyapa dan menunduk lesu.

Hari ini, kutemui sore karena kulihat dia tak sesibuk pagi dan tak segalak siang. Berharap sore mau mendengarkan ceritaku, seorang yang bukanlah periang. Tapi sore malah mengajakku menunggu senja. Terus saja bercakap mengenai senja yang indah dan mempesona. Tanpa tau maksud hatiku.

Lalu senja datang. Ia indah, apalagi penciptanya. Merona. Memancarkan aura yang terlihat sangat bersahaja dan gembira. Walau senja agak manja, tapi dia mengerti bahwa hidup kita tak pernah seperti raja. Maka dia menasehatiku, “Beginilah hidup, mirip dengan waktu munculnya aku yang singkat dan hanya sesaat. Untuk itu, janganlah berbuat curang dan tetaplah berjuang.” Begitulah senja, indah tapi hanya sesaat. Tak sempat jua mendengar ceritaku, namun dia telah memberi petuah hidup yang bermanfaat.

Dan kini malam datang,

Wahai malam,

setelah bertemu senja kupikir kau adalah yang paling tepat untuk dijumpai. Karena kehadiranmu panjang, menyejukkan, penuh bintang, dan kurasa kau adalah sebaik-baik pendengar.

Wahai malam,

Terkadang kulihat kau seram. Mungkin karena ditutupi gelap, sehingga tampak seperti suram. Bukan, bukan begitu maksudku. Bukan berarti aku menyalahkanmu. Maksudku, inilah salahku. Menilai hanya dari wujudmu. Ya, akulah yang sesungguhnya terlalu rapuh dan lemah. Padahal selama ini kau selalu setia menemani. Baik senang, sibuk, sepi, sedih sekalipun kau temani aku. Tak jarang kau menutupi segala resah dan gundahku dengan gelapmu. Harusnya aku bersyukur berteman denganmu, malam.

Wahai malam,

Tetaplah begitu. Kurasa menjadi baik tak perlu yang selalu tampak indah di mata orang.

Wahai malam,

Terimakasih malam. Ajak aku untuk selalu mencintai penciptamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline