Lihat ke Halaman Asli

Ingin Maju, Jadilah Produsen Ilmu

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sistem pendidikan Indonesia merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia bahkan terbesar keempat di dunia dengan lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah. Sebaliknya, berdasarkan data Education for AII (EFA) Global Monitoring dari UNESCO, indeks pembangunan pendidikan Indonesia menduduki peringkat 69 dari 127 negara. Ketidakseimbangan dunia pendidikan ini perlu segera dibenahi, karena pendidikan menjadi salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa.

Bahkan pendidikan merupakan fondasi utama untuk membangun sebuah peradaban. Setelah hancur karena bom, negara Jepang melalui Kaisar Hirohito mengumpulkan semua guru yang tersisa untuk membangun kembali peradaban negaranya hingga Jepang menjadi Macan Asia.

Indonesia juga harus mengumpulkan semua pendidik kemudian membentuk sistem pendidikan yang kuat. Mengapa? Karena jika kita ingin menguasai perekonomian dunia misalnya, tidak bisa pemerintah saja yang berlari. Masyarakat membutuhkan ilmu untuk bisa ikut berlari.

Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang melimpah namun masih lemah dalam pengelolaannya. Sumber daya alam kita dijual dengan harga murah ke pasar internasional karena tidak diolah sebelumnya. Untuk bisa mengolah dan menaikkan harga, kita perlu ilmunya. Tidak sekedar kebijakan-kebijakan saja yang dibuat.

Sumber daya manusia Indonesia pun merupakan potensi besar yang kita miliki. Banyak kita saksikan, pemuda Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di berbagai kejuaraan dunia. Tapi, tidak sedikit yang pergi dan bekerja di luar negeri. Kita telah melepas banyak mutiara ke laut tetangga.

Indonesia sebenarnya sudah punya modal yang besar untuk menjadi sebuah negara maju. Tapi sampai sekarang kita nyaman-nyaman saja disebut sebagai negara berkembang. Mau sampai kapan?

Kita harus segera bangun agar tak lagi menjadi Macan Asia yang tertidur. Kita butuh ilmu untuk mengolah dan memaksimalkan modal yang kita miliki. Ilmu yang tidak bisa diamalkan bukanlah ilmu. Seperti kata Bung Karno kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada tempo dulu, Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!” Ilmu yang tidak bisa membawa kebaikan bagi orang lain bukanlah ilmu. Kita perlu mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk mengejar ketertinggalan. Namun untuk menjadi sebuah negara maju, kita harus menciptakan ilmu.

Paradigma inilah yang perlu diubah. Selama mengenyam pendidikan, kebanyakan kita terbiasa menghafal teori yang telah tercipta bukan menciptakan teori-teori baru. Secara tidak sadar, kita telah dididik menjadi pasif. Pasif dalam arti menjadi konsumen ilmu.

Misalnya, buku-buku perkuliahan masih didominasi oleh ilmuwan luar. Kebanyakan mahasiswa lebih memilih menggunakan referensi mereka. Krisis kepercayaan pun muncul terhadap buku-buku atau publikasi ilmiah yang dibuat oleh dosen atau ilmuwan Indonesia sendiri. Ini adalah PR besar untuk kita. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita mampu menjadi produsen ilmu.

Nigel Cross dalam Designerly Ways of Knowing, mengungkapkan secara kultural manusia membentuk pengetahuannya (ilmu) melalui tiga cara, yaitu melalui cara-cara ilmiah (scientific ways), cara-cara kepujanggaan (scholarly ways), dan cara-cara merancang (designerly ways).

Cara ilmiah dilakukan pada ilmu-ilmu sains, dan pengetahuan didapatkan melalui riset ilmiah. Cara kepujanggaan dilakukan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti seni dan sastra, dan pengetahuan didapatkan dengan penghayatan. Sedangkan cara merancang dilakukan pada ilmu-ilmu yang berorientasi pada kerja, seperti perencanaan, desain, rekayasa, manajemen, dan komunikasi, dan pengetahuan didapatkan dengan praktik atau magang.

Dari ketiga ilmu tersebut, kita bisa memilih dimana kita mau berperan. Tentukan bidang, ciptakan ilmu, buat Indonesia maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline