Lihat ke Halaman Asli

Jeratan Gurita Kapitalisme Dalam Industri Media Televisi

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dinamika politik pada tahun 1998 telah memunculkan era yang disebut sebagai era reformasi. Era tersebut berdampak pada terbukanya kran-kran informasi dan ruang bagi penyaluran kebebasan berekspresi serta berpendapat. Televisi merupakan salah satu media yang merasakan dampak tersebut. Televisi-televisi swasta pun bermunculan dan ragam variasi program ditampilkan. Iklan kemudian hadir dan mewarnai layar kaca sebagai nyawa yang menghidupi dan menjamin keberlangsungan media televisi tersebut.

Televisi, sebuah kotak kaca ajaib yang mampu memukau para pemirsanya dan seolah memiliki sihir yang mampu menjerat siapa saja untuk larut kedalam pesonanya. Ia penuh sesak dengan ragam program hiburan, seperti musik, sinetron, kuis atau berbagai macam reality show. Program-program non-hiburan seperti berita, awalnya hanya dijadikan sebagai pelengkap dengan tampilan yang tidak semenarik program hiburan lainnya. Namun, sejak kemunculan MetroTV yang memosisikan dirinya sebagai stasiun berita, sebagaimana layaknya CNN, maka terdapat kecenderungan berita tidak lagi dianggap sebagai program sampingan. Terlebih dengan hadirnya TvOne, dengan tag linenya sebagai stasiun berita dan olahraga. Terdapat persaingan diantara keduanya yang kemudian diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti TransTv, Trans7, RCTI, SCTV dan stasiun lainnya. Persaingan tersebut kemudian memunculkan ragam varian dalam penyajian berita yang kemudian dikemas dengan lebih menarik.

Hal tersebut tentu saja merupakan hal positif yang dapat menjadi pemuas dahaga masyarakat akan kehadiran program-program televisi yang berkualitas dan mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah dalam perkembangannya kanal-kanal berita tersebut mampu mempertahankan komitmennya untuk memberikan informasi dan program-program yang mendidik? Apakah stasiun berita tersebut mampu melepaskan diri dari konflik kepentingan antara kebutuhan untuk memperoleh profit dan fungsi edukasinya? Tulisan ini akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut dengan memberikan ulasan mengenai perkembangan industri media televisi dan kecenderungan adanya komodifikasi berita

Berbicara tentang media selalu menjadi perbincangan yang menarik. Terlebih lagi ketika menempatkan media sebagai industri, dimana idealisme berbenturan dengan hegemoni kapitalisme. Lauer (2003:413) menjelaskan bahwa ketika berbicara tentang industrialisasi, maka ia tidaklah berarti perbincangan seputar persoalan ekonomi dan teknologi semata, melainkan juga pola perubahan sosial dan kultural. Dengan melihat apa yang dikonsepsikan oleh Lauer tersebut, maka media memainkan peranannya dalam perubahan sosial dan kultural. Meskipun demikian, sebagai industri, media juga terkait erat dengan persoalan ekonomi dan teknologi.

Media memiliki peranan begitu besar dalam kehidupan masyarakat. Ia mampu memberikan pengaruh, tidak hanya berkaitan dengan pilihan gaya hidup, melainkan juga pengaruh dalam hal pembentukan opini publik dan cara pandang pemirsa terhadap realitas. Terlebih ditengah budaya masyarakat yang kian mengarah pada budaya visual, maka televisi sebagai bagian dari media yang begitu diminati tentu saja menempati posisi yang cukup menentukan. Kellner mengatakan bahwa hasil poling mengungkapkan betapa orang banyak bergantung pada televisi sebagai media yang terpercaya untuk mendapatkan berita dan informasi dibandingkan melalui media lainnya (Kellner, 1990:2). Meskipun yang ia bicarakan adalah konteks Amerika Serikat untuk beberapa waktu yang lalu, namun hal tersebut dapat pula dijadikan sebagai gambaran realitas yang terjadi di Indonesia pada masa kini. Hal tersebut terbukti, ketika kini stasiun televisi di Indonesia kian beragam dan juga dengan hadirnya stasiun televisi berita yang cukup mendapatkan tempat di masyarakat.

Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah harapan masyarakat akan program-program televisi yang berkualitas telah berbanding lurus dengan realitas yang ditawarkan oleh media televisi? Ataukah media televisi telah terjebak dalam kungkungan industri kapitalis? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya bila melihat kembali pada sajian berita televisi. Sajian berita sebagai media penyampaian informasi merupakan salah satu perwujudan dari fungsi tanggung jawab sosial pers yang disampaikan melalui media. Idealnya penyampaian berita haruslah memenuhi prinsip-prinsip objektivitas, keakuratan data, kebenaran, keadilan dan relevan. Akan tetapi, dengan adanya persaingan diantara media penyaji berita, prinsip tersebut seakan menjadi nomer dua yang dikedepankan setelah pertimbangan rating.

Hasil jajak pendapat harian Kompas menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran minat masyarakat dalam hal tayangan televisi. Dikatakan bahwa tayangan berita telah mampu menggeser sinetron dan ajang kontes idola yang tadinya sangat diminati masyarakat. Bahkan terdapat peningkatan jumlah pemirsa berita yang cukup signifikan, yaitu dari yang semula sebesar 30,4 persen pada Juni 2008 menjadi 46 persen pada November 2009 (Kompas, 24/01/2010). Dikatakan pula bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya antusiasme publik dalam menonton program berita televisi, yaitu banyaknya peristiwa yang menyita perhatian publik selama satu tahun terakhir, agresivitas dan totalitas media dalam meliput dan menyajikan berita-berita yang menjadi perhatian besar di masyarakat, kebutuhan masyarakat akan informasi yang serba cepat dan real time, serta kemasan berita yang cenderung lebih populer dan menghibur.

Sajian berita telah bermetamorfosa menjadi tayangan reality show yang begitu populer. MetroTV bahkan mengiklankan program berita hariannya, Metro Hari Ini, dengan memberikan tag line sebagai real life drama. Hal tersebut menunjukkan bahwa media menangkap kecenderungan masyarakat Indonesia yang menyukai segala sesuatu yang berbau dramatis dan bombastis, untuk kemudian secara jitu menggunakannya sebagai alat guna melakukan promo berita.

Berita telah dikemas menjadi serupa sinetron dan tayangan reality show lainnya untuk mendapatkan perhatian pemirsa. Ketika hal tersebut dilakukan dengan tidak mengeliminasi prinsip media yakni informatif dan mendidik serta memenuhi tanggung jawab sosial media, maka hal tersebut tidak terlalu menjadi persoalan. Namun yang terjadi adalah kemasan berita cenderung lebih mengedepankan kecepatan, hiburan dan dramatisasi semata.

Stasiun berita kemudian cenderung mengedepankan persaingan mengejar eksklusivitas tayangan berita sehingga cenderung mengabaikan kedalaman dan keakuratan data dari berita yang ditayangkan. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh TvOne ketika melakukan siaran langsung penyergapan rumah tersangka teroris di Temanggung. Solaeman Sakib, General Manager Current Affair TvOne, mengatakan bahwa kebijakan menyiarkan secara langsung penggerebekan rumah yang diduga sebagai tempat persembunyian Noordin M Top di Dusun Beji, Temanggung, Jawa Tengah dilakukan untuk meningkatkan rating dan menggaet 20 juta pemirsa (http://nasional.kompas.com/read/2009/08/27/19533758/TV.One.Tayangan.Temanggung.Hanya.untuk.Naikkan.Rating). Hasilnya adalah kesalahan pemberitaan mengenai identitas pria yang tewas tertembak dalam sergapan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa televisi berita pun ternyata tidak bebas dari kepentingan kapitalis dan cenderung mengorbankan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial demi meraup keuntungan. Eksklusivitas dan rating, kedua hal tersebut itulah yang kemudian menjadi pertimbangan utama bagi media pemberitaan. Sekali lagi, idealisme tenggelam oleh hegemoni kapitalisme global.

Gambaran pemberitaan yang demikian semakin menegaskan bahwa industri pemberitaan, khususnya dalam industri media televisi, telah terjebak dalam jeratan kapitalisme global. Pemberitaan yang semestinya informatif dan mendidik terdistorsi menjadi hiburan yang mengemas realita menjadi semata komodifikasi. Bahkan media seakan menjadi alat kepentingan penguasa korporasi. Media dimanfaatkan para konglomerasi untuk kepentingan mereka. Indikasinya sebagaimana yang terlihat pada MetroTV dan Media Groupnya dengan Surya Paloh sebagai pemilik modal dan TvOne serta Antv dan vivanews.com dengan Aburizal Bakrie. Media lain juga memiliki kecenderungan korporasi serupa, seperti misalnya Grup MNC (RCTI, TPI, Global TV, Sun TV, MNC Channel, okezone.com dan beberapa anak bisnis media lainnya) dibawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo. Kemudian Chairul Tanjung dengan TransCorpnya yang membawahi TransTV dan Trans|7 (http://dsatria.wordpress.com/2008/03/18/mengukur-kapitalisme-media-lokal/http://www.mnc.co.id/http://www.transcorp.co.id/#; http://www.an.tv/pages.php?page=profil; http://www.tvone.co.id/tvone/bod).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline