Lihat ke Halaman Asli

Yunita Kristanti Nur Indarsih

TERVERIFIKASI

Gratias

Menyoal Perundungan dalam Dunia Pendidikan

Diperbarui: 2 Februari 2025   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Artikel melalui Kompas.com (Freepik)

Setiap saya bertanya pada anak-anak yang saya duga mendapatkan perundungan dari temannya, setiap jawaban yang keluar dari mulut mereka, membuat saya terkejut. Saya menyimpulkan, bahwa pada akhirnya anak-anak itu hanya bisa pasrah, yoweslah! Mau apa lagi. Karena mereka tidak sanggup melawan. Mereka tidak berdaya.

Dampak dari perundungan tersebut ada yang menetap hingga bertahun-tahun, sehingga kemudian berpengaruh pada tumbuh-kembang dan kepribadian mereka. Ada juga kemudian yang akhirnya mampu membalik keadaan, bahwa perundungan itu membuat mereka justru bertransformasi menjadi individu-individu yang kuat, walau tidak banyak, yang bisa mampu seperti ini. Yang parah, mereka yang jadi korban perundungan, kemudian jadi pelaku kejam perundungan!

Perundungan dibidik dari sisi manapun tentu bukan hal yang bisa dibanggakan. Perundungan bukan perilaku yang bisa ditoleransi. Dampak yang diberikan sangat memprihatinkan bagi perkembangan mental seseorang. Namun demikian, kenyataannya, perundungan masih tetap selalu ada di lingkungan dimana anak-anak kita berkehidupan.

Seorang Kompasianer senior, pernah menceritakan pengalaman terkait anaknya yang sampai harus dipindahkan sekolahnya terkait kasus perundungan.  Kisah lain, satu minggu yang lalu, seorang siswa SMP kelas 9 menceritakan pengalamannya, bagaimana dia menghadapi teman-temannya yang membujuknya untuk tidak mengerjakan tugas sekolah untuk alasan solidaritas.

Jika siswa ini tidak mau, teman-temannya akan memusuhi. Remaja merupakan suatu masa tumbuh kembang, dimana teman sebaya adalah 'segalanya'. Mereka berpikir jika tidak punya teman merupakan sebuah masalah yang besar. Hal ini menjadi sebuah dilema tersendiri bagi siswa tersebut. Jika diikuti, melanggar aturan sekolah, banyak konsekuensi yang akan diterima, baik dari sekolah maupun dari orangtua. Tetapi jika tidak diikuti, dia akan bermasalah dengan temannya. Namun pada akhirnya siswa ini bisa memilih bagaimana seharusnya dia bisa bersikap saat itu, walaupun dia kemudian harus menerima kenyataan, dijauhi oleh teman-temannya.

Kemudian kisah yang lain lagi, seorang siswi kelas 8 yang juga memiliki pengalaman dirundung sejak dirinya duduk di kelas 2 SD. Hingga kini, peristiwa perundungan itu masih diingatnya. Siswi ini tumbuh menjadi anak yang pemurung, minderan, soliter, inferior.

Pengalaman kawan Kompasianer, pengalaman siswa kelas 9, serta pengalaman siswi kelas 8 ini benar-benar ada di sekeliling kita. Membekali mereka anak-anak kita untuk bisa bertahan bahkan menghadapi tindakan perundungan yang terjadi merupakan satu cara kita untuk melindungi masa depan mereka. Cara yang tidak bisa ditawar di tengah segala keragaman yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini. 

Saya bukan akan mengglorifikasi korban perundungan dengan berlebihan, tetapi kenyataan untuk mengembalikan fungsi-fungsi mental yang 'rusak' karena perundungan, bukan hal mudah. Apa yang mereka terima saat usia dini, kemudian akan timbul akan menjadi perilaku yang menyimpang di usia-usia remaja/dewasa awal, bahkan hingga usia dewasa. Begitu banyak contohnya.

Menjadi sebuah perenungan bagi saya. Anak-anak dengan status sosial ekonomi middle low menjadi sasaran empuk bagi mereka pelaku perundungan. Kemudian diperparah dengan kondisi kepribadian yang tidak percaya diri dan inferior. Pelaku perundungan sangat menyukai korban dengan tipe-tipe semacam ini.

Nadiem Makarim menyatakan di tahun 2022-2023, 24,4% siswa mengalami bullying.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline