Muncul wacana UN (Ujian Nasional) akan diselenggarakan kembali. Setuju, gak? Tentu persoalannya bukan hanya setuju or gak setuju tentang penyelenggaraan UN kembali saja, bukan?
Kilas Balik
Nadiem Makarim memutuskan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional di tahun 2020 menjadi tahun terakhir pelaksanaannya. Ujian Nasional kemudian berubah nama menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Selanjutnya, di tahun ini (2024), Abdul Mu'ti memberikan wacana akan mengembalikan penyelenggaraan UN sebagai asesmen evaluasi kompetensi siswa.
Bukan hal yang baru bongkar-pasang kebijakan mengenai evaluasi pendidikan siswa ini. Ujian atau asesmen semacam ini sudah ada sejak tahun 1950 an. Ujian yang diselenggarakan untuk melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa. Ujian Negara di tahun 1965 an, kemudian ada Ujian Sekolah, Ebtanas, Ujian Akhir Nasional, Ujian Nasional, UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) yang kemudian diubah lagi menjadi AKM dan Survei Karakter saat pandemi lalu.
Begitu panjang perjalanan penyelenggara negara ini dalam mengupayakan sistem evaluasi belajar (yang terbaik (seharusnya) pastinya, ya). Wacana UN paska pergantian presiden yang akan diselenggarakan lagi ini memancing banyak reaksi juga.
UN atau kepanjangan dari Ujian Nasional ini sebelumnya digunakan sebagai indikator pencapaian keberhasilan siswa yang melakukan di area pendidikan formal. Ujian ini merupakan sebuah mekanisme 'penilaian' terhadap kompetensi siswa. Yang kita semua udah ngerti teknis pelaksanaannya seperti apa. Gak masalah mau diselenggarakan UN lagi atau tidak sebenarnya, sejauh tujuan pendidikan tercapai. Tujuan pendidikan tercapai!
Pertanyaannya, apakah dengan penyelenggaraan UN, tujuan pendidikan tercapai? Ini tentu saja pertanyaan dengan kacamata ideal. Pendidikan tentu harus ideal, walaupun pada kenyataannya ideal itu ilusi pikiran. Selalu ada proses belajar di sana. Jika UN adalah sebuah alat saja untuk mengevaluasi kompetensi siswa maka secara obyektif ini boleh-boleh saja. Namun demikian jika UN dilaksanakan kembali tanpa mengevaluasi kebijakan terdahulu, ini menyedihkan.
Mengapa harus diganti atau mengapa tidak harus diganti, tentu seharusnya ada kajian yang jelas. UN bukan tameng atas pergantian menteri yang konon ganti menteri ganti kebijakan, ini konyol. UN bukan alat untuk berdalih karena kurikulum yang 'sulit' untuk dipelajari oleh penyelenggara pendidikan.
Proses belajar ini berlaku tentunya untuk peserta didik dan penyelenggara pendidikan itu sendiri. Atau UN dipakai sebagai sarana 'menakuti' siswa agar kembali punya 'greget dan target' dalam belajar, ini terlalu sempit. UN digunakan sebagai sebuah alat untuk bla..bla..bla (semoga tidak).
Berbicara mengenai pendidikan berarti berbicara juga mengenai peradaban sebuah bangsa. Berbicara mengenai pendidikan juga berbicara mengenai jati diri sebuah bangsa. Jadi, pendidikan merupakan sebuah hal yang penting dan besar untuk sebuah bangsa.
Penyelenggaraan pendidikan haruslah merdeka. Penyelenggaraan pendidikan tidak bisa dipolitisasi untuk satu tujuan tertentu. Penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diinfiltrasi oleh kerakusan atau ketamakan satu golongan atau lebih.