Lihat ke Halaman Asli

Yunita Kristanti Nur Indarsih

TERVERIFIKASI

Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

Menyoal Biaya Terapi, Pendidikan ABK yang Mahal

Diperbarui: 25 Juli 2022   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak ABK sedang belajar membatik (KOMPAS.com/ALBERTUS ADIT)

Dalam sebuah obrolan, tercetus ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) adalah anak mahal! 

Pendidikan melalui peran shadow teacher yang dibutuhkan, terapi, vitamin, lalu bahan makanan yang tidak selalu bisa dimakan oleh mereka yang mengakibatkan, orangtua harus memutar otak untuk mencari alternatif makanan pengganti, dan masih banyak cost lain yang dibutuhkan dalam mendampingi ABK.

Lalu dalam benak saya muncul sebuah pemikiran, bagaimana dengan nasib ABK yang kebetulan tidak mampu? Apakah masih bisa menikmati layanan prima itu? Entahlah (tapi besar harapan hal baik pasti akan datang)

Saya pernah melayani terapi seorang ABK dari keluarga Asisten Rumah Tangga klien terapi yang saya tangani di sebuah daerah di Jawa Tengah. Saya dikenalkan dengan majikanya yang kebetulan adalah orangtua klien terapi saya.

Kondisi mereka memang sangat memprihatinkan. Jangankan memikirkan biaya terapi anaknya yang teridentifikasi ABK, menu makan setiap hari saja tidak menentu. Serba minim. 

ABK tidak bisa memilih di keluarga apa dia ingin dilahirkan. Diskriminasi, pengabaian, anak ABK bukan prioritas, menjadi sebuah hal yang akrab banget di dunia mereka.

Masih sering didapatinya kenyataan di lapangan bahwa ABK menjadi korban perundungan, korban pelecehan seksual, keluarga-keluarga ABK didiskriminasi, dan sebagainya.

Tentu bukan hal yang mudah dengan kondisi seperti ini. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab ?Pendidikan untuk semua kalangan, jelas tertera dalam UUD 1945. 

Pembangunan fasilitas-fasilitas oleh pemerintah untuk ABK memang sedikit demi sedikit terlihat. Produk hukum formal melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 mengenai Pendidikan Inklusi bagi Peserta Didik menjadi sebuah gerbang pembuka. 

Perubahan demi perubahan terjadi ke arah yang memberi harapan bagi ABK memang terjadi, walau masih membutuhkan perjuangan berat dan panjang, terutama di sisi mengubah paradigma berpikir masyarakat serta memberi layanan dan akses terapi bagi mereka-mereka yang lumpuh secara sosial dan ekonomi. Upaya-upaya berbagai pihak tentu dibutuhkan. Pemerintah dan swasta (bisa melalui CSR) diminta berperan aktif dalam hal ini pihak-pihak non pemerintah baik luar maupun dalam negeri yang memberikan concern di karya-karya sosial (karitatif).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline